TERJEMAH DALAM AL-QUR’AN
TERJEMAH DALAM AL-QUR’AN
Untuk Memenuhi Mata Kuliah studi pengantar Al-qur’an
Dosen : Nurkholidah M.ag

Disusun oleh :
VERA AS’ARI ( 1608103059)
TADRIS BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJARJATI CIREBON
2016 – 2017
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Terjemahan dalam Al-qur’an
1.
Pendahuluan
Sudah menjadi keinginan
setiap manusia baik muslim ataupun non muslim untuk mengetahui apa yang
terkandung dalam alquran, sementara Al-Quran turun dalam bahasa Arab padahal
tidak semua orang dapat mengerti apalagi menguasai Bahasa Arab, maka dengan
alasan itulah penerjemahan Al-Quran sangat dibutuhkan hingga ke dalam berbagai
bahasa di dunia.
Pemakalah di sini akan
mencoba menjelaskan sedikit tentang sejarah penerjemahan Al-Quran, pengertian
terjemah, pembagian terjemah, syarat-syarat penerjemah, hukum terjemah,
kedudukan terjemah jika dibandingkan dengan Alquran itu sendiri.
Al-Quran juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa selain Eropa, seperti
Afrika, Persia, Turki, Urdu, Tamil, Pastho, Benggali, Jepang dan berbagai
bahasa di kepulauan Timur, tidak ketinggalan pula Al-Quran juga diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia, pada pertengahan abad ketujuh belas, Abdul Ra’uf
fansuri, seorang ulama dari Singkel, Aceh, menterjemahkan Al-Quran ke dalam
bahasa Melayu, walau mungkin terjemahan itu ditinjau [1]dari
sudut ilmu bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun, pekerjaan itu adalah
berjasa besar sebagai pekerjaan perintis jalan; hingga pada saat ini, kita bisa
mendapatkan berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Indonesia dengan sangat
mudah dan bermacam-macam versi.
2. Sejarah Terjemahan Al-qur’an
Al-qur’an
diwayuhkan kepada nabi muhammad dalam bahasa arab secara teologis versi
al-qur’an berbahasa arab lah yang dianggap sebagai bacaan yang asli, firman
yang langsung berasal dari allah dan tidak ada satupun yang dapat disejajarkan
dengan al-qur’an berbahasa arab. Terjemahan dipandang al-qur’an hanya sebagai
alat bantu untuk memahami makna-makna keagungan allah bukan sebagai pengganti
bahasa seperti perubahan bahasa kitab-kitab lainnya ( injil maupun taurat).
Semua muslim arab maupun non-arab meperlajari maupun
membaca dalam bahasa arab untuk mendapatkan kepuasan dalam berkah yang ada pada
al-qur’an inilah yang terucap dari mulut nabi dan dibaca oleh para sahabat-sahabat
nabi, maupun generasi muslim berikutnya dari kalangan kristen pun akan mengakui
bahwa Al-qur’an sangat jauh berbeda dengan injil
Pada awalnya al-qur’an hanya dibaca oleh orang-orang yang
sudah fasi, kekayaan sastra dan
syair,bahkan salah satu musuh nabi merasa takjub dengan bacaan al-qur’an dengan
bahasa arab tersebut. Al-qur’an memang memiliki ciri khas tersendiri yang
sayangnya belum dikaji secara utuh oleh Barat, hingga saat ini telah banyak
terdapat terjemahan dalam bahasa inggris namun tak ada satupun yang dikerjakan
lebih dari satu orang pada kurun waktu yang sama.
3. Pengertian Terjamahan
Secara bahasa terjemahan bermakna penjelasan atau keterangan secara istilah
terjemahan bermakna mengungkapkan perkataan atau kalimat dengan menggunakan
bahasa lain. Menerjemahkan Al Qur’an adalah mengungkapkan makna Al Qur’an
dengan menggunakan bahasa lain.
- Terjemahan harfiah (khusus) yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari
bahasa yang serupa dari bahasa kedalam lafadz-lafadz yang serupa dengan
bahasa lain.
- Terjemahan maknawiyah atau tafsiriyah atau umum, yaitu mengungkapkan
makna perkataan atau kalimat dengan menggunakan bahasa lain tanpa terikat mufrodal
(kosakata) dan tartib (susunan kata). Sebagai contoh, firman Allah:
sesungguhnya kami menjadikan Al Qur’an dalam Bahasa Arab, supaya kamu
memahamin (Nya). Maka terjemahan harfiyah adalah dengan cara menerjemah
kata perkata
Mereka yang mempunyai
pengetahuan bahasa tentang bahasa-bahasa tentu dia tahu bahwa terjemahan
harfiyah diatas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa
asli dan cangkupan semua makna nya tetap dipertahankan, sebab karakteristik
setiap bahasa berbeda-beda hal tertib bagian-bagian kalimat itu sendir
Contohnya jumlah fi’liyah (kalimat verbal) dalam bahasa arab dikenal sebagai
fi’il (kata kerja yang berfungsi sebagai predikat ), kemudian fa’il (subjek)
baik dalam kalimat tanya (istifham) maupun lainnya.
4. Hukum Terjemahan Harfiyah
Tidak ada seorangpun yang merasa ragu tentang haramnya menerjemahkan
al-qur’an dengan terjemahan harfiyah, sebab al-qur’an adalah kalamullah
yang diturunkan kepada rasulnya, merupakan mukjizat dengan lafadz dan makna serta membaca
dipandang sebagai suatu ibadah, dan tidak ada satu orangpun yang berpendapat
bahwa kalimat-kalimat al-qur’an itu jika diterjemahkan dinamakan kalamullah,
sebab allah tidak pernah berfirman kecuali dengan al-qur’an yang kita baca dengan bahasa arab dan
kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan karena hanya al-qur’an
berbahasa arab yang dianggap sebagai mukjizat.
Dengan demikian. Penerjemah al-qur’an dengan
terjemah harfiyah betapapun telah menguasai bahasa arab dengan betul-betul
dipandang telah mengeluarkan al-qur’an dari keadaan al-qur’an sebenarnya.
Terjemahan model
seperti ini mustahil untuk dilakukan karena diturunkanya Al-Quran mempunyai dua
tujuan yaitu:
a.
Untuk menunjukan
kebenaran Nabi SAW dalam risalah-nya yang beliau sampaikan dari tuhannya, ini
semua terjadi, karena Al-Quran adalah Mu’jizat, yang mana andaikan Manusia dan
Jin bersatu-padu, bahu membahu untuk membuat atau menandingi satu surat
sekalipun, yang menyerupainya; niscaya mereka tidak akan mampu untuk selamanya.
b.
Untuk memberikan
petunjuk pada Manusia, kepada kemaslahatan dan keselamatannya, baik di Dunia
maupun di Akhirat
mengenai
hukum pembuatan terjemah Harfiyah, baik bil-misli atau
ghairi-misli. Ulama sepakat akan keharamannya. Sebab di sana terdapat
penyelewengan tujuan diturunkannya Al-Quran yang primer. Yakni:
1)
Menunjukkan atas kebenaran Nabi SAW, terhadap apa yang disampaikan Allah pada
Nabi
2)
Dan sebagai petunjuk bagi umat manusia, pada apa yang dilakukan mereka baik di
dunia maupun di akhirat.
Bila
terjemah Harfiyah dilakukan maka kedua fungsi tersebut akan lenyap.
Menurut
jumhur ulama terjemah al-qur’an secara harfiyah adalah hal yang mustahil,
karena dalam metode menerjemahkan semacam ini ada beberapa syarat yang tidak
bisa terpenuhi, diantaranya;
a)
Harus ada kesesuaian antara kosa kata bahasa asli dengan bahasa terjemahan
b)
Harus ada kesesuaian antar perangkat-perangkat makna antara bahasa asli dengan
bahasa terjemah.
c)
Adanya kesamaan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan dalam hal susunan
kata dan kalimat, sifat dan idhofah (penyandaran).
Karena
terjemah harfiah itu tidak mungkin dapat mengungkapkan makna secara sempurna
dan tidak bisa memberi pengaruh jiwa seperti pengaruh Al-Qur’an yang berbahasa
arab, dan tidak ada hal yang mendesak untuk menggunakan terjemah secara
harfiah, karena sudah cukup dengan terjemah secara maknawiyah.
5. Hukum terjemahan maknawiyah
Makna asli ialah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang
mengetahui pengertian lafadz secara mufrad (tunggal) dan mengetahui pula
segi-segi susunan lafadz secara global sedangkan dimaksud makna sanawi ialah
karakteristik( keistimewaan) susunan kalimat yang menyebabkan suatu kalimat
bernilai tinggi.
Makna asli sebagian ayat
terkadang sejalan dengan prosa dan puisi kalam arab, tetapi kesejalanan
tersebut tidak menyentuh mempengaruhi kemukjizatan al-qur’an. Karena
kemukjizatan nya terletak pada keindahan susunan dan penjelasan yang sangat
mempesona itu yang disebut dengan makna sanawi.
Al-qur’an bukanlah hal mudah sebab tidak
terdapat satu bahasa pun yang dapat menandingi bahasa arab dalam dalalah
(petunjuk) lafadz-lafadz terhadap makna-makna yang oleh ahli ilmu bayan
dinamakan khawassut-tarkib (karakteristik-karakteristik susunan). Hal demikian
tidak mudah didakwahkan seseorang.
Segi-segi balagah qur’an dalam lafadz atau susunan, baik nakriah dan
ma’rifah nya taqdim dan ta’khir-nya
disebutkan dan di hilangkan maupun hal-hal lainnya adalah menjadi
keunggulan al-qur’an bahasa al-qur’an dan ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap
jiwa, karena bahasa manapun tidak mempunyai khawas tersebut.[3]
Adapun menerjemahkan al-qur’an secara tafsiriah, maka
hal itu diperbolehkan, karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal
tersebut. Dan terkadang hal itu justru menjadi wajib ketika menjadi washilah
(perantara) untuk menyampaikan al-qur’an dan islam kepada orang-orang yang
tidak bisa berbahasa arab, karena menyampaikan hal itu adalah wajib, “segala
sesuatu yang tidak akan menjadi sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi
wajib hukumnya”.
Akan tetapi diperbolehkannya terjemah al-qur’an secara
Tafsiriyah dengan beberapa syarat berikut :
- Tidak menjadikan terjemahan
Tafsiriyah tersebut sebagai pengganti dari al-qur’an. Oleh karena itu
mesti menuliskan al-qur’an dengan bahasa arab, kemudian meletakkan
terjemahan tersebut di sampingnya, sehingga kedudukannya seperti tafsir
bagi ayat al-qur’an.
- Orang yang menerjemahkan harus
benar-benar menguasai kedua bahasa tersebut dan mengetahui makna-makna
lafadz syar’i dalam al-qur.an
- Dan tidaklah diterima terjemah
al-qur’an, kecuali dari orang-orang yang dapat dipercaya untuk
melakukannya, yaitu seorang muslim yang istiqomah di dalam agama
Terkadang Qur’an
menggunakan sebuah lafadz dalam pengertian majaz(kiasan) maka dalam hal
demikian penerjemah hanya mendatangkan
satu lafadz yang sama dengan lafadz arab
maksudnya dalam perngertian hakiki karena hal ini dan hal lain maka terjadilah
banyak kesalahan dan penerjemahan makna-makna al-qur’an.
Namun terkadang dalam 1 buah lafadz
bahasa arab dapat mengandung banyak arti, jika sudah begitu maka
penerjemah harus hanya meletakan satu
kata lafadz yang hanya mengandung satu arti dangan maksud dalam arti yang sudah
hakiki karena hal ini dan hal lain banyak penerjemah banyak melakukan kesalahan
dalam penempatan makna-makna dalam al-qur’an
Pendapat yang dipilih
syatibi diatas di anggap sebagai hujjah tentang kebolehan menerjemahkan makna
asli tidaklah mutlak seperti dengan kadar darurat dalam penyampaian dakwah
yaitu berkenaan dengan dakwah dan tauhid rukun ibadah dan tidak lebih dari itu sedang
bagi mereka yang ingin mengetahuinya diperintahkan untuk mempelajari bahasa
arab
4.
Terjemahan Tafsiriyah.
Terjemahan tafsiriyah
ini perlu ditegaskan bahwa ia adalah terjemahan bagi pemahaman pribadi yang
terbatas, ia tidak mengandung semua aspek pentakwilan yang dapat diterapkan
pada makna-makna al-qur’an.Penafsiran
dengan menggunakan terjemahan dengan kejujuran dan kecermatan maka cara ini disebut sebagai terjemahan
tafsir atau terjemahan tafsiriyah dalam hal ini tidak ada halangan karena allah
mengutus nabi muhamad untuk menyampaikan risalah islam kepada seluruh umat
manusia dengan segala bangsa dan ras berbeda-beda.
Al-qur’an diturunkan dalam
bahasa arab untuk penyampaiannya kepada umat arab merupakan suatu keharusan
akan tetapi umat-umat yang lain yang tidak padai bahasa arab atau tidak
mengerti sama sekali, penyamapai dakwah akan bergantung pada penerjemah dakwah
itu ke dalam bahasa mereka, seperti yang kita tahu kemustahialan dalam makna
harfiyah dan keharamnnya , juga kemustahilan
terjemahan makna samawi. Oleh karena itu jalan teraman dengan terjemahan
tafsir qur’an yang mengandung asa-asas dakwah sesuai kitab dan sunnah, ke dalam
suku bangsa maka dengan cara inilah dakwah kepada mereka dan tegaklah hujjah.
Corak terjemahan ini berbeda dengan terjemahan maknawiyah sekalipun
peneliti tidak pernah membeda-bedakan , sebab seakan terjemahan maknawiyah
terkesan seakan-akan penerjemahan telah mengambil makna-makna al-qur’an dari berbagi aspek dan memindahkan ke bahasa
asing, terjemahan selain al-qur’an selain al-qur’an yang biasa disebut
terjemahan dengan sesuai bahasa asli nya dan kita telah mengetahui ( bahaya dan
kemusthilan) yang terkandung dalam
penerjemahan maknawi ini.
Terjamahan ini adalah bagi
pemahaman pribadi yang sangat terbatas karena kadang banyak orang awam yang
mimikirkan secara logika bukan dengan imannya, tidak mengandung semua aspek
pentakwilan yang diterapkan kepada makna-makna al-qur’an tetapi hanya
mengandung sebagian takwil yang dapat dipahami penafsiran tersebut.
5.
Perbedaan Antara Terjemahan Tafsiriyah Dan Tafsir:
Ada beberapa titik
perbedaan antara Tarjamah Tafsiriyah dan Tafsir dari dua segi:
1. .Perbedaan bahasa, bahasa Tafsir terkadang atau kebanyakan memakai bahasa
yang sama, sementara bahasa Tarjamah Tafsiriyah harus dengan bahasa yang
berbeda.
2.
Bagi pembaca Tafsir,
bisa memperhatikan rangkaian dan susunan teks asli beserta arti yang di
tunjukan, di samping teks terjemahanya; sehingga dia bisa menemukan
kesalahan-kesalahan yang ada, sekaligus meluruskanya. Andaikan dia tidak
menangkap kesalahan itu, maka, pembaca yang lain akan menemukanya. Sedangkan
pembaca terjemah, tidak sampai ke situ, karena dia tidak tahu susunan Al-Quran
dan arti yang ditunjukanya, bahkan kesan yang ada, bahwa apa yang ia baca, dan
ia pahami dari terjemah tersebut, adalah Tafsir atau arti yang benar terhadap
Al-Quran, sedangkan pengecekan terhadap teks aslinya dan membandingkan dengan
teks terjemahan, itu sudah di luar batas kemampuanya, selama dia tidak tahu
bahasa Al-Quran.
Contoh
ayat :
(QS:Al-Isra’[17]:29)“وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ
تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ “.
v Jika diterjemahkan dengan terjemahan Harfiyah adalah :
“larangan
menjadikan tangan terikat pada leher dan larangan mengenai melebarkan tangan selebar-lebarnya”.
Hal tersebut menyimpang dari makna Al-Qur’an.
v Jika diterjemahkan dengan terjemahan Tafsiriyah adalah
:
“janganlah
engkau menahan untuk bersodakoh (kikir), dan jangan pula terlalu pemurah
(royal)” .
Perbedaan
sangat kelihatan antara terjemahan Harfiyah yang mustahil dan terjemahan
Tafsiriyah yang Ulama sepakat akan kebolehannya.
6. Syarat-syarat penerjemah:
Seorang penerjemah
Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat berikut:
- Penerjemah
haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat
dipercaya.
- Penerjemah
haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang
fasik tidak diperkenankan menerjemahkan Alquran.
- Menguasai
bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam
bahasa sasaran dengan baik.
- Berpegang
teguh pada prinsip-prinsip penafsiran Al-Quran dan memenuhi kriteria
sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir.
7.
Membaca Al-qur’an dalam sholat dengan selain bahasa arab
Ada dua pendapat tentang mazhab yaitu :
a.
Boleh secara mutlak
atau disaat tidak sanggup mengucap kan bahasa arab
b.
Haram dalam sholat
dengan bacaan seperti ini tidak sah
Pendapat pertama adalah pendapat mazhab hanafi, diriwiyatkan oleh abu
hanifa bahwa ia berpendapat boleh dan sah membaca qur’an dengan bahasa persia
dan karena ini sebagian sahabatnya ( muridnya ) memperbolehkan pula membaca
dengan bahasa turki india dan bahasa lain-lainnya, sepertinya mereka memandang
dalam hal ini, Al-qur’an adalah nama bagi makna-makna yang ditunjukan oleh
lafadz-lafadz arab, sedangkan makna-makna itu tidaklah berbeda dari dengan
lafadz dan bahasa.
Dua murid abu hanifa, abu yusuf dan muhammad bin husain membantasi hal
tersebut dengan syarat “ dalam keadaan darurat mereka memperbolehkan
menggunakan bahasa selain arab asal dengan syarat ia tidak mampu mengucapkan
bahas arab, “ kami memperbolehkan membaca terjemahan al-qur’an (dalam sholat)
bagi yang tidak mampu jika hal itu tidak tersebut makna sebab terjemahan
tersebut adalah qur’an yang dilihat dari segi cakupan terhadapat makna” itu lebih baik dibandingkan meninggalkan
bacaan karena pembebanan (taklif) itu
sesuai kemampuan.
Pendapat kedua adalah jumhur ulama mazhab hanafi syafi’i dan hanbali tidak
memperbolehkan bacaan terjemahan qur’an dalam baik, baik mampu membaca bahasa
arab atau tidak sebab terjemahan qur’an bukanlah qur’an , qur’an adalah perkata
mukjizat yaitu kalamullah yang menurutnya sendiri.
Berkata Qadi abu bakar ibnul ‘arabi asalah satu seorang fuqaha maliki,
ketika menafsirkan firman allah:[5]
“ dan jika kami jadikan al-qur’an itu suatu bacaan dalam bahasa selain
bahasa arab tentulah mereka akan mengatakan:’mengapa tidak dijelaskan
ayat-ayatnya? “ apakah patut qur’an itu berbahasa asing sedangkan nabi muhammad
adalah orang arab? [6](
fussilat[41]:44)
Allah telah berfirman dalam ( fussilat[41]:44) telah mematahkan pendapat
dari abu hanifa bahwa dalam[7] sholat
diperbolehkan dengan terjemahan al-qur’an. Seandainya qur’an di ganti dengan
bahasa selain arab tentu itu bukan lagi qur’an dan juga tidak menimbukan
mukjizat.
Al-Hafiz ibnu hajar salah seorang fuqaha syafii dalam fathul bar berkata :”
jika seseorang sanggup mebaca dalam bahasa arab maka ia tidak boleh mengganti
dengan bahasa lain walaupun ia tidak sanggup membacanya dengan bahasa arab”
kemudian ia menyebutkan syar’i (allah,rasul) telah mebuat bagi mereka yang
tidak sanggup membaca bahasa arab penggantinya adalah dengan dzikir.
Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa arab karena
bahasa ini adalah bahasa qur’an dan kunci untuk memahaminya kitab dan sunnah
fardhu. Keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa arab
sesuatu yang tidak dapat di jalankan secara sempurna kecuali dengan maka ia
adalah wajib.
Mengenai penerjemah dzikir (bacaaan) dalam sholat baik yang wajib seperti
takhbiratul ihram maupun buka masih diperselisihkan zikir yang wajib tidak
boleh diterjemahkan menurut malik ishak dan ahmad dalam suatu riwayat yang paling shahih tetapi
boleh menurut abu yusuf, muhammad dan syafi’i
sedangkan dzikir-dzikir lain tidak boleh diterjemahkan menurut malik
ishak dan sebagian murid-murid syafi’i dan dzikir diselingi dengan terjemahan
maka batal solatnya sementara imam syafi’i sendiri menegaskan bahwa hal
demikian adalh makruh jika tidak dibaca dalam bahasa arab .
8. Urgensi Kekuatan Umat Islam dalam menegakan Islam dan
bahasa Qur’an
Terjemahan tafsir itu di perkenan kan menurut kadar
kebutuhan dalam menyampaikan
Dakwah kepada negara-negara non-islam al-hafiz ibn hajar menjelaskan “barang
siapa masuk islam atau ingin masuk islam lalu dibacakan qur’an kepadanya tetapi
ia tidak tidak memahaminya, maka tidak ada halangan bila qur’an diterangkan
kepada untuk memperkenalkan hukum-hukumnya atau agar tegaklah hujjah baginya
sebab hal itu dapaat menyebabkab masuk islam.
Kaum muslim terdahulu beranu menempuh segala
kesulitan dengan kejayaan islam dalam menghadapi segala bahaya demi tersebarnya
agama Allah, mereka memakai baju
kepahlawanan keadilan dan kemuliaan akhlak yang menyilaukan mata pihak lawan
dengan kewibaan dan kebesaran nya, sementara bahasa arab berjalan dibelaka[8]ng mereka
kemanapun mereka pergi untuk mengibarkan panji-panji mereka dan bertebaran
disetiap lembah yang di injak kaki mereka dalam dakwah islam mereka tidak
merasa perlu mengalihbahasakan makna-makna al-qur’an kedalam bahasa asing, hal
demikian dengan keadaan mereka tetap pada kedudukan mulia dan berkuasa tidak
jarang merupakan salah satu faktor pendorong para non-arab untuk mengetahui dan
memperlajari bahasa arb sehingg negri-negri asing itu berbicara bahasa arab
Pentingnya bahasa asing bagi bangsa arab sehingga bangsa ini dapat mengirim
misi-misi ilmiah ke berbagai universitas negara-negara lain atau mengkaji
buku-buku induk ilmu pengetahuan alam di universitas-universitas.
Seandainya negri-negri islam
konsisten pada jalan kebangkitan yang pertama baik dari segi ilmu peradaban
politik etika kekuasaan maupun kewibawaan,tentulah segala penjuru dunia akan
menghormati mereka dan berkeinginan untuk mempelajari bahasa arab agar dapat
menimba secara langsung dari sumbernya produk pemikir islam untuk menyirami
kehausan akan ilmu pengetahuan bernaung dibawah kekuasaan mereka dan berlindung
di bawah kedaulatan dan tentu pula dunia akan melihat kebutuhan kita terhadap
seperti yang kita rasakan sekarang-sekarang ini yakni kebutuhan kita terhadap
bahasa dunia.
FOOT NOTE (CATATAN KAKI )
1.
Al-Qattan
manna’khalil,
studi
ilmu-ilmu qur’an/ manna khalil al-qattan; diterjemahkan dari bahasa arab oleh Drs mudzakir AS, cet 16, Bogor, Pustka
Litera AntaraNusa,2013 hal 442-454
2.
Muhammad
abdul halim
Memahami
al-qur’an / muhammad abdel 1999; diterjemahkan dari edisi bahasa inggris
Undrestanding Qur’an : themes and style
I.B tauris and CO ltd.,london 1999, penerjemah Rofik suhud, cet 1 April
2002 hal 22-29
Komentar
Posting Komentar