Kaidah yang di Perlukan oleh Para Mufasir


PENGANTAR STUDY AL-QUR’AN
(Kaidah yang di Perlukan oleh Para Mufasir)
Sumber : Studi Ilmu-Ilmu qur’an (Manna’ Khalil al-Qattan)



                     


Penyusun :
Fitra Rifqia Zahrah

TADRIS BAHASA INGGRIS
(TBI-C)




Kiadah-Kaidah yang diperlukan para mufasir

Untuk menerjuni sesuatu ilmu apa pun seseorang perlu mengetahui dasar-dasar umum dan ciri-ciri khasnya. Ia terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu tersebut dan ilmu-ilmu lain sebagai penunjang yang diperlukan dalam kadar yang dapat membantunya mencapai tingkat ahli dalam disiplin ilmu tersebut,sehingga disaat memasuki detail permasalahannya ia telah memiliki dengan lengkap kunci pemecahannya. Oleh karena Qur’an al-Karim diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. “Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Qur’an dengan bahasa Arab agar kamu memahaminya” (Yusuf [11]:2) , maka kaidah-kaidah bahasa,pemahaman asas-asasnya,penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Dan untuk hal ini semua telah tersedia banyak banyak pembahasan secara rinci dan kajian yang lengkap yang bertebaran dalam berbagai cabang ilmu bahasa Arab. Namun di sini kami hanya akan mengemukakan secara singkat beberapa hal penting yang harus diketahui terlebih dahulu.


1.      Damir (Kata Ganti)
   Damir mempunyai kaidah-kaidah kebahasaan tersendiri yang di simpulkan oleh para ahli bahasa dari Qur’an al-Karim,sumber-sumber asli bahasa Arab,hadis nabawi dan dari perkataan orang-orang arab yang kata-katanya dapat dijadikan pedoman (Hujjah),baik yang berupa puisi (Nazam) maupun prosa (Nasar). Ibn al-anbari [1] telah menyusun sebuah kitab terdiri dari 12 jilid yang khusus membahas damir-damir yang terdapat dalam Qur’an


   Pada dasarnya, damir diletakkan untuk mempersingkat perkataan; ia berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Sebagai contoh, damir “hum” pada ayat

Telah menggantikan dua puluh kata,jika kata-kata itu diungkapkan bukan dalam bentuk damir, yaitu kata-kata yang terdapat pada permulaan ayat :

 إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا   (al-Ahzab : 35)

Setiap damir ga’ib (kata ganti orang pertam) memerlukan tempat kembali atau penjelas,yaitu kata-kata yang digantikannya, dan menurut kaidah bahasa tempat kembali itu harus di mendahuluinya. Ahli Nahwu memberikan alas an bagi ketentuan ini,bahwa damir mutakallim (orang pertama) dan dhamir mukhatab (orang kedua) telah dapat diketahui maksudnya secara jelas melalui keadaan yang melingkupinya,tidak demikian dengan damir ga’ib.karena itu menurut kaidah tempat kembali damir tersebut harus mendahuluinya agar apa yang dimaksud dengannya dapat diketahui lebih dahulu. Itulah sebabnya para ahli Nahwu menetapkan, “Damir g’ib tidak boleh kembali kepada lafaz yang terkemudian dalam pengucapan dan kedudukannya.” Dari kaidah ini dikecualikan beberapa hal yang di dalamnya damir kembali kepada tempat kembali yang tidak disebutkan karena apa yang dimaksudnya telah ditunjukkan oleh sebuah qarinah (indikasi) yang ada pada lafaz yang mendahuluinya atau oleh keadaan lain yang melingkupi suasana pembicaraan.
      Ibn malik dalam kitabnya at-Tashil menyatakan, “Kaidah menetapkan, tempat kembali (marji’) damir ga’ib itu harus didahulukan. Marji’ ialah lafaz yang terdekat dengannya kecuali bila ada dalil yang menunjukan lain. Terkadang marji’ itu dijelaskan lafaznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya indicator,baik yang indrawi maupun yang diketahui melalui penalaran (‘ilmi), yang menunjuk kepada damir,atau karena telah disebutkannya sesuatu yang merupakan bagian marji’,keseluruhannya,imbangannya,atau yang menyertainya,dalam bentuk apapun jua.”
       Dengan demikian,marji’ damir ga’ib adalah lafaz yang telah disebutkan sebelumnya dan harus sesuai dengannya. Inilah yang banyak dan umum, seperti dalam firman-nya:  وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ
(Hud: 11/42) Atau yang mendahuluinya itu mengandung apa yang dimaksud oleh damir, seperti dalam firman-nya:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
(al-Maidah 5/8)                                                                                                                       
“huwa” di sini kembali kepada keadilan,al-adlu yang terkandung dalam lafaz I’dilu. Jadi arti selengkapnya,keadilan itu lebih dekat kepada ketakwaan. Atau lafaz yang mendahuluinya itu menunjuk kepada damir berdasarkan kelaziman, keniscayaan (Iltizam) seperti :
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ   (al-Maidah 2/178)
Damir pada kata “ilaihi” kembali kepada lafaz al-afi (orang yang memaafkan) yang harus ada karena adanya lafaz ufiya (dimaafkan).
        Marji’ damir kadang-kadang terletak sesudah damir itu sendiri,namun hal ini hanya dalam pengucapannya,tidak dalam kedudukannya (jabatan kata)-nya, seperti dalam:
فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَى ﴿٦٧﴾
(at-Taha 20/67)
Tetapi ada juga yang terletak kemudian dalam pengucapan maupun kedudukannya sebagaimana terdapad pada damir sya’n,damir qissah,ni’ma dan bi’sa. misalnya firman allah : ayat قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾   (al-Ikhlas 122/1)
Selain itu ada pula lafaz yang dating sesudah damir menunjukan marji’ damir itu seperti pada firmannya:    فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ    (al-Anbiya 21/97)
Damir rafa’ yang tersimpan disini ditunjukan oleh lafaz “al-Hul-Qum”,yang jika dinyatakan lengkap maka akan berbunyi: بِئْسَ لِلظَّالِمِينَ بَدَلًا   (al-Kahfi 18/50)
      Marji’ adakalanya dapat dipahami dari konteks kalimat,seperti pada:  كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ  (ar-Rahman 55/26) , maksud lafaz “alaiha” ialah                              “alal-ardi” ; إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾  (al-Qadar 97/1) yakni “an-jalna al-qur’an; yakni “nabi saw”; dan   أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ­(Hud 11/13) , damir “wawu” pada lafaz “yakulun” kembali kepada “orang-orang musyrik” dan damir fa’il lafaz “iftara” kembali kepada “nabi”, sedang damir ma’ful kembali kepada al-qur’an .
       Damir terkadang kembali kepada lafaz,bukan kepada makna seperti dalam firmannya: 
وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنثَى وَلَا تَضَعُ إِلَّا بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلَا يُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا فِي كِتَابٍ (Fatir 35/11) ,damir pada “umurihi” kembali kepada lafaz ”mu’ammar” namun yang dimaksud adalah “mu’ammar” yang lain berkata al-farra’ : yang dimaksud ialah mu’ammar yang lain,bukan mu’amar yang pertama,tetapi ia di kinayah-kan dengan damir seakan-akan ia adalah mu’ammar yang pertama. Hal ini karena jika lafaz itu ditampakkan maka sama persis dengan lafaz pertama,sehingga akan berbunyi “wa la yunqasu min ‘umuri mu’ammar”. Jadi jelaslah bahwa damir pada “min ‘umurihi” kembali kepada lafaz “mu’ammar” yang lain, bukan mu’ammar pertama. Ini tidak ubahnya dengan perkataan “ ‘indi dirhamun wa nisfuhu” (aku mempunyai satu dirham dan separohnya),maksudnya separoh dirham yang lain . [2]

2.      Ta’rif dan Tankir (Isim Ma’rifah dan Nakirah)

A.    Penggunaan isim nakirah
Pengguanaan isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi,di antaranya:
1.      Utnuk menunjukan satu, seperti pada: وَجَاء مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ  (Yasin 36/20) , “rajulun” maksudnya adalah seorang laki-laki.
2.       Untuk menunjukan macam, seperti:  وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ  (al-Baqarah 2/96), yakni sesuatu macam dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan,sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3.      Untuk menunjukan “satu” dan “macam” sekaligus. Misalnya pada: وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِن مَّاء (an-Nur 24/45). maksudnya, setiap macam dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nutfah
4.      Untuk membesakan (memuliakan) keadaan, seperti: فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ   (al-Baqarah 2/279). maksud “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat
5.      Untuk menunjukan arti banyak
6.      Untuk membesarkan dn menunjukan banyak (gabungan no.4 dan no.5) misalnya: وَإِن يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِّن قَبْلِكَ  (Fatir 35/4). Maksudnya rasul-rasul yang mulia dan banyak jumlahnya.
7.      Untuk meremehkan, misalnya: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ  (Abasa 80/18). yakni, dari sesuatu yang hina, rendah, dan teramat remeh.
8.      Untuk menyatakan sedikit,seperti dalam ayat: وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(at-Taubah h 9/72). maksudnya, keridaan yang sedikit dari allah itu lebih besar daripada surga,karena keridaan itu pangkal segala kebahagiaan.

B.     Penggunaan isim ma’rifah
Penggunaan isim ma’rifah (ta’rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya.
1.      Ta’rif dengan isim damir (kata ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik damir mutakallim, mukhatab, ataupun ga’ib.
2.      Ta’rif dengan alamiyah (nama) berfungsi untuk :
a.       Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas
b.      Memuliakan
c.       Menghinakan
3.      Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk)


3.      Pengulangan kata benda
Apabila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan; kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah,dan yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah.
1.      Apabila kedua-duanya ma’rifah maka pada umumnya yang kedua adalh hakikat yang pertama, misalnya:

اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ﴿٦﴾
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ﴿٧﴾
(al-Fatihah 1/6-7)


2.      Jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya :



اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ ﴿٥٤﴾
(ar-Rum 30/54)

3.      Jika yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah maka apa yang dimaksudkan adalah hakikat yang pertama,karena itulah sudah diketahui. Misal, فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ   ,كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (Q.S. al-Muzzammil 73/15-16)

4.      Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah,maka apa yang dimaksudkan bergantung pada qarinah.





4 .  Mufrad dan Jamak
      Sebagian lafaz dalam qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus,lebih diutamakan jamak dari mufrad dan sebaliknya. Oleh karena itu dalam qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan kita diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonim (muradif)-nya. Misalnya kata “al-lubb” (            ) yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak ,albab, seperti terdapat pada ayatإِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِأُوْلِي الْأَلْبَابِ   (az-Zumar 39/21). Kitab ini tidak pernah dipergunakan dalam bentuk mufradnya,namun muradifnya disebutkan yaitu lafaz “al-qolb” seperti (Q.S. Qaf 50/37). Dan kata “al-kub” (           ) tidak pernah dipakai bentuk mufradnya, tetapi selalu bentuk jamaknya, “al-akwab”. Misal nya pada (Q.S al-Gasyiyah 88/14)

5 . Mengimbangi Jamak dengan Jamak atau dengan Mufrad
     Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang dimaksudkan bahwa setiap satuan dari jamak yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain. Misalnya dalam ayat: وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا   (Nuh 71/7).. maksudnya, setiap orang dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing. Dan seperti: الْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ (al-Baqarah 2/233), maksudnya, masing-masing ibu menyusui anaknya sendriri.
Terkadang dimaksudkan pula bahwa isi jamak itu ditetapkan atau diberlakukan bagi setiap individu yang terkena Hukuman.

6 . Kata-kata yang Dikira Mutaradif (Sinonim), tetapi Bukan
      Diantaranya adalah “al-Khauf” dan “al-Khasyyah”, makna “al-Khasyyah” lebih tinggi dari “al-Khauf”, karena al-khasyyah terambil dari kata-kata “syajarah al-khasyyah” artinya pohon yang kering. Jadi arti al-khasyyah ialah totalitas rasa takut. Sedangkan “al-khauf” terambil dari kata-kata “naqah khaufa”,artinya unta betina yang berpenyakit, yakni mengandung kekurangan, bukan berarti sirna sama sekali. Di samping itu al-khasyyah ialah rasa takut yang timbul karena agungnya pihak yang ditakuti meskipun pihak yang mengalami takut itu seorang yang kuat. Dengan demikian,al-khasyyah adalah al-khauf atau rasa takut yang disertai rasa hormat (ta’zim); sedang al-khauf adalah rasa takut yang timbul karena lemahnya pihak yang merasa takut kendatipun pihak yang ditakuti itu hal yang kecil. Dilihat dari akar katanya, al-khasyyah terdiri dari kha’ , syin dan ya’ yang di dalam tasrifnya menunjukan sifat keagungan dan kebesaran,seperti “asy-syaikh” ,berarti pemimpin besar , dan “al-khaisy” berarti pakaian yang tebal.
   Diantaranya pula “asy-syuhh” dan “al-bukhl”, arti pertama telah intens dari arti lafaz kedua, Karena pada umumnya asy-syuhh adalah al-bukhl atau kikir yang disertai ketamakan.
   Dengan demikian pula as-sabil dan at-tariq. Yang pertama banyak dipakai pada kebaikan sedang yang kedua hampir tidak pernah dipakai pada kebaikan kecuali bila disertai idafah yang menunjukkan makna dimaksud.menurut ar-ragib dan lam Muffradat-nya , as-sabil adalah at-tariq atau jalan yang didalamnya terdapat kemudahan,jadi lebih khusus dari at-tariq.

7 . Pertanyaan dan Jawaban
      Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini untuk mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan. Jawaban seperti ini disebut uslub al-hakim. Mereka menanyakan kepada Rasulullah tentang bulan,mengapa pada mulanya ia tampak kecil seperti benang, kemudian bertambah sedikit demi sedikit hingga purnama,kemudian menyusut lagi terus menerus sampai kembali seperti semula. Jawaban yang diberikan kepada mereka berupa penjelasan mengenai hikmahknya,untuk mengingatkan mereka bahwa yang lebih penting ditanyakan ialah hal tersebut,bukan apa yang mereka tanyakan itu. Terkadang sebuah jawaban lebih umum dari apa yang ditanyakan,karena memang hal itu dianggap perlu.

8 . Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah
    Jumlah ismiyah atau kalimat nominal menunjukan arti subut (tetap) dan istimrar (terus-menerus), sedang jumlah fi’liyah atau kalimat verbal menunjukan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) dan hudus (temporal). Masing-masing kalimat ini mempunyai tempat tersendiri yang tidak bias ditempati oleh yang lain. Misalnya tentang infaq yang diungkapkan dengan kalimat verbalالَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء  (Ali ‘Imran 3/134) disini tidak dinamakan kalimat nominal. Namun dalam masalah keimanan dipergunakan kalimat nominal, seperti dalamإِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
 (Q.S al-Hujurat 49/15). Hal ini karena infaq merupakan suatu perbuatan yang bersifat temporal yang terkadang ada dan terkadang tidak ada. Lain halnya dengan keimanan ,ia mempunyai hakikat yang tetap berlangsung selama hal-hal yang menghendaki-nya masih ada.
   Yang dimaksud tajaddud dalam fi’il madi (kata kerja masa lampau) ialah perbuatan itu timbul-tenggelam, kadang ada dan sekarang tidak ada. Sedang dalam fi’il mudari’ (kata kerja masa kini atau masa akan dating,perbuatan itu terjadi berulang-ulang) . fi’il atau kata kerja yang tidak dinyatakan secara jelas dalam hal ini sama halnya dengan fi’il yang dinyatakan secara jelas. Karena itu para ulama berpendapat,salam yang disampaikan para malaikat kepada Ibrahim.

9 . ‘Ataf
    ‘Ataf terbagi atas 3 macam :
1.      ‘Ataf kepada lafaz, dan inilah yang paling pokok dari ‘ataf
2.      ‘Ataf kepada mahall (kedudukan kata).misalnya dalam إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ (Q.S al-Maidah 5/69). Menurut al-kisa’I lafaz “as-sabiun” di ‘Atafkan kepada mahall inna dan isim-nya yang kedudukannya adalah marfu’ karena permulaan kalimat
3.      ‘Ataf kepada makna  لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن  (al-Munafiqun 63/10). dalam qiro’ah selain Abu ‘Amr lafaz “akun” di-jazm-kan . menurut al-khalil dan sibawaih lafaz tersebut di ‘Atafkan kepada sesuatu yang dianggap ada ( tawahhum) [2]karena makna “lau la akhartani…fa assaddaqa” sama dengan “akhkhirni…assaddaq” (tangguhkanlah aku ….,tentu aku akan bersedekah). Seakan-akan dikatakan: “in akhkhartani…assaddaq qa akun…” (jika engkau menangguhkan aku…tentu aku akan bersedekan dan termasuk…).

Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya meng’atafkan khabar (kalimat berita) kepada insya’ (bukan kalimat berita). Sebagian besar mereka tidak memperbolehkan,sedang golongan lain memperbolehkan-nya.

10 .  Perbedaan antara “al-ita”dengan“al-I’ta” di dalam al-Qur’an. Al-Juwaini
menjelaskan, lafaz “al-ita”lebih kuat dari “al-I’ta”dalam menetapkan maf’ulnya, karena “al-I’ta” mempunyai pola kata mutawa’ah [3]. Dikatakan: “ia memberikan (sesuatu) kepadaku maka aku pun menerimanya”. Sedang tentang “al-ita” tidak dapat dikatakan seperti itu ,karena karena kalimat ini akan berarti: “ia memberikan (sesuatu) kepadaku maka aku pun memberikannya”. Tetapi hendaklah dikatakan: “ia memberikan (sesuatu) kepadaku maka aku pun menerimanya”.
     Mengenai hal diatas terdapat bukti-bukti konkrit dalam Qur’an .di antaranya :
يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاء وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا  (al-Baqarah 2/269)  . penggunaan kata “al-ita” (yu’ti ,yu,ta ,utiya) dalam ayat ini mengingat bahwa bila hikmah telah tetap pada tempatnya, maka ia akan menetap di situ selamanya.
-         وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ ﴿٨٧﴾ (al-Hijr 15/87)
-         إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ ﴿١﴾(al-Kausar 108/1). Penggunaan kata “al-I’ta” (a’tainaka) dalam ayat ini karena sesudah al-kausar masih terdapat banyak tempat lain yang lebih tinggi mengingat bahwa perpindahan dalam surga itu hanya kepada yang lebih besar.

Demikian pula pada firman Allah حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ (at-Taubah 9-29),
Penggunaan kata”al-I’ta (‘yu’tu) disini karena jizyah itu bergantung pada sikap kita (kaum muslimin) pun tidak membayarkannya dengan hati rela melainkan karena terpaksa. Dalam kaitannya dengan kaum Muslimin tentang zakat di gunakanlah kata “al-I’ta”. Ini mengandung isyarat bahwa seorang mukmin seharusnya membayar zakat itu dengan kesadaran sendiri secara ikhlas,tidak seperti pembayaran jizyah.













[1]  Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Qasim al-Anbari (w. 328 H.), seorang yang menaruh perhatian besar terhadap bahasa dan ilmu-ilmu Qur’a
[2]  Istilah ini diriwayatkan Sibawaih dari al-khalil, dan dalam kitab-kitab tafsir dijelaskan,lafaz “akun” dijazamkan karena dianggap ada kalimat syarat yang ditunjukan oleh tamanni (pengharapan). Sebenarnya istilah “tawahhum” ini tidak pantas dipakai dalam tafsir Qur’an. Yang lebih pantas ialah jika dikatakan “ataf kepada makna”.
[3]Mutawa’ah ialah sebuah pola kata kerja yang mengandung arti “akibat/pengaruh” dari kata kerja transitif,muta’addi.(peny).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LINGKUNGAN DAN ATMOSFER PENDIDIKAN ISLAM

Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya

Makalah sejarah dan Turunnya Al-Qur'an