makalah Makkiah dan Madaniyah


Definisi Amsal

            Amsalul adalah bentuk jamak dari masal. Kata masal, misl dan masil adalah sama dengan syabah, syibh, dan syabih, baik lafadz maupun maknanya.
            Dalam sastra masal adalah suaru ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah populer dengan maksud menyerupakan keadaan yang terdapat dalam perkataan itu dengan keadaan sesuatu yang karenanya perkataan itu di ucapkan. Maksudnya, menyerupakan sesuatu ( seseorang, keadaan ) dengan apa yang terkandung dalam perkataan itu.
            Kata masal digunakan pula untuk menunjukkan arti “keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “masal” dalam sejumlah ayat. Misalnya firman Allah:
            “( Apakah ) masal surga yang didalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya...” ( Muhammad [47]:15 ). Maksudnya, kisah dan sifat surga yang mengagumkan.
            Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti ini dalam kitabnya, al-kasysyaf. Ia berkata: Masal menurut asal perkataan mereka berarti al-misl dan an-nazir ( yang serupa, yang sebanding ). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, populer, yang menyerupakan sesuatu  ( orang, keadaan dan sebagainya ) dengan “maurid” ( atau apa yang terkandung dalam ) perkataan itu disebut masal. Mreka tidak menjadikan sebagai masal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan masal yang layak diterima dan di populerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi. Dan, katanya lebih lanjut, “masal” dipinjam ( dipakai secara pinjaman ) untuk menunjukkan keadaan, sifat atau kisah jika ketiganya dianggap penting dab mempunyai keanehan.
            Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat, dari masal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, masal adalah majaz murakkab yang ‘alaqah-nya musyabaha jika penggunaannya telah populer. Majaz’ ini pasa asalnya adalah isti’arah tamsiliyah, seperti kata-kata yang diucapakan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan
            Dikatakan pula, definisi masal ialah menonjolkan sesuatu makna ( yang abstrak ) dan bentuk yang indrawi agar menjadi indah dan menarik. Dengan pengertian ini maka masal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak disyaratkan pula harus berupa majaz murakkab.[1]

            Apabila memperhatikaan masal-masal Qur’an yang disebutkan oleh para pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan suatu hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’arah maupun dengan tasybih sarih         ( penyerupaan yang jelas ); atau ayat-ayat yang menujukkan makna yang menarik dengan redaksi ringas dan padat; atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
            Dengan demikian, maka amsal Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologis, asy-syabih dan an-nazir. Juga tidak dapat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah masal-masal, sebab masal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak tepat diartikan dengan arti masal menurut ulama Bayan, karena diantra masal Qur’an ada yang bukan isti’arah dan penggunaannya pun tidak begitu populer. Oleh karena itu maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amsal dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk ( perkataan ) yang menarik dan padat serta mempunyaai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas ( lepas, buka tasybih ).
            Ibnu Qayyim mendefinisikan amsal Qur’an dengan “menyerupakan sesuaru dengan yang abstrak ( ma’qul ) dengan yang indrawi ( konkrit, mahsus ), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain.”
            Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti fitman Allah:
            “Sesungguhnya masal kehidupan duniawi itu adalah seperti air ( hujan ) yang Kami turunkan dari langit.”( Yunus [10]:24 ). Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dimni ( penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung ), misalnya:
            “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” ( al-Hujurat [49]:12 ). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti firman-Nya:
            Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah ( pulalah ) yang disembah.” ( al-Hajj [22]:73 ). Firman-Nya, “sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah disebut dengan masal padahal didalamnyatidak terdapat isti’arah maupun tasybih



            Macam-macam Amsal dalam Qur’an

            Amsal didalam Qur’an ada tiga macam; amsal musarrahah, amsal kaminah dan amsal mursalah.
            1). Amsal musarrah, ialah yang didalamnya dijelaskan dengan lafadz masal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih. Amsal seperti ini banyak ditemukan dalam Qur’an dan berikut ini beberapa diantaranya:
            a). Firman Allah mengenai orang munafik:
            “Perumpamaan ( masal ) mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya ( yang menyinari ) mereka dan membiarkan mereka dalam kegiatan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali ( ke jalan yang benar ). Atau seperti ( orang-orang yang ditimpa ) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat...” sampai dengan “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.” ( al-Baqarah [2]:17-20 ).
            Didalam ayat-ayat ini Allah membuat perumpamaan ( masal ) badi orang munafik; masal yang berkenaan dengan api ( nari ) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang menyalakan api...”, karena didalam api terdapat unsur cahaya; dan masal yang berkenaan dengan air ( ma’i ), “atau seperti ( orang-orang yang ditimpa ) hujan lebat dari langit...”, karena didalam air terdapat materi kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati dan kehidupannya. Allah menyebutkan juga kedudukan dan fasilitas orang munafik dalam dua keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk penerangan dan kemanfaatan;mengingat mereka memperoleh kemanfaatan materi dengan sebab masuk Islam. Namun disisi lain Islam tidak memberikan pengaruh “nur”-nya terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya ( nur ) yang ada dalam api itu, “Allah menghilanghilangkan cahaya ( yang menyinari ) mereka”, dan membiarkan unsur “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan dengan api.
            Mengenai masal mereka yang berkenaan dengan air ( ma’i ), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang disertai gelap gulita, guruh dan kilat, sehingga terkoyaklah kekuatan orang itu dan ia meletakkan jari jemari untuk menyumbat telinga serta memejamkan mata karena takut petir menimpanya. Ini mengingat bahwa Qur’an dengan segala peringatan, perintah, larangan dan khitabnya bagi mereka tidak ubahnya dengan petir yang turun sambar-menyambar.
            b). Allah menyebutkan pula dua macam masal, ma’i dan nari, dalam surat ar-Ra’d, bagi yang hak dan yang batil:
            “Allah telah menurunkan air ( hujan ) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa ( logam ) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada ( pula ) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan, masal, ( bagi ) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” ( ar-Ra’d [13]:17 ).
            Wahyu yang diturunkan Allah dari langit untuk kehidupan hati diserupakan dengan air hujan yang diturunkan-Nya untuk kehidupan bumi dengan tumbhuh-tumbuhan. Dan hati diserupakan dengan lembah, membawa buih dan sampah. Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir dihati akan berpengaruh terhadap nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah masal ma’i dalam firman-Nya, “Dia telah menurunkan air ( hujan ) dari langit...” Demikianlah Allah membuat masal bagi yang hak dan yang batil.
            Mengenai masal nari, dikemukakan dalam firman-Nya, “Dan dari apa ( logam ) yang mereka lebur dalam api...” Logam, baik emas, perak, tembaga maupun besi, ketika dituangkan ke dalam api, maka api akan menghilangkan kotoran, karat, yang melekat padanya, dan memisahkan dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga hilanglah karat itu dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah atau api melemparkan karat logam.
            2). Amsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil ( pemisalan )tetapi ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Untuk masal ini mereka mengajukan sejumlah contoh, diantaranya:
            a). Firman Allah mengenai sapi betina:
            “Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan diantara itu...” ( al-Baqarag [2]:68 ),
            b). Firman-Nya tentang nafkah:
            “Dan mereka yang apabila membelanjakan ( harta ), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak ( pula ) kikir, dan adalah ( pembelanjaan itu ) ditengah-tengah antara yang demikian.” ( al-Furqan [25]:67 ),
            c). Firman-Nya mengenai salat:
            “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangan pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah diantara kedua itu.” ( al-Isra’[17]:110),
            d). Firman-Nya mengenai infaq:
            “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan ( pula ) terlalu mengulurkannya.” ( al-Isra’[17]:29 ).
            3). Amsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafadz tasybih secara jelas. Tapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai masal.
            Berikut ini contoh-contohnya:
            a). “Sekarang ini jelaslah kebenaran itu.” ( Yusuf [12]:51 ),
            b). “Tidak ada yang menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” ( an-Najm [53]:58 ),
            c). “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya ( kepadaku ).” ( Yusuf [12]:41 ),
            d). “Bukankah subuh itu sudah dekat?” ( Hud [11]:81 ),
            e). “Untuk tiap-tiap berita ( yang dibawa oleh rasul-rasul ) ada ( waktu ) terjadinya.” ( al-An’am [6]:67 ),
            f). “Dan rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri.” ( Fatir [35]:43 ),
            g). “Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” ( al-Isra’ [17]:84 ),
            h). “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.’ ( al-Baqarah [2]:216 ),
            i). “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” ( al-Muddassir [74]:38 ),
            j). “Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan ( pula )?” ( ar-Rahman [55]:60 ),
            k). “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka ( masing-masing ).” ( al-Mu’minun [23]:53 ),
            l). “Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah yang disembah.” ( al-Hajj [22]:73 ),
            m). “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yanng bekerja!” ( as-Saffat [37]:61 ),
            n). “Tidak sama yang buruk dengan yang baik.” ( al-Ma’idah [5]:100 ),
            o). “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” ( al-Baqarah [2]:249 ),
            p). “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” ( al-Hasyr [59]:14 ).
            Para ulama berbeda pendapat tentang ayat-ayat mereka yang namakan amsal mursalah ini, apa atau bagaimana hukum mempergunakannya sebagai masal?
            Sebagian ahli ilmu memandang hal demikian sebagai telah keluar dari adab Qur’an. Berkata ar-Razi ketika menafsirkan ayat, “Untukmulah agamamu, dan untukulah agamaku.” ( al-Kafirun [109]:6 ): “Sudah menjadi tradisi orang, menjadikan ayat ini sebagai masal ( untuk membela, membenarkan perbuatan-perbuatannya ). Ketika ia meninggalkan agama padahal hal demikian tidak dibenarkan. Sebab Allah menurunkan Qur’an bukan untuk dijadikan masal, tetapi untuk direnungkan dan kemudian diamalakanisi kandungannya.”
            Golongan lain berpendapat, tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Qur’an sebagai masal dalam keadaan sungguh-sungguh. Misalnya, ia sanga merasa sedih dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan, “Tidak ada yang menyingkapkannya selain dari Allah.” ( an-Najm [53]:58 ). Atau ia diajak bicara oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti ajarannya itu, maka ia menjawab: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” ( al-Kafirun [109]:6 ). Tetapi berdosa besarlah seseorang yang dengan sengaja berpura-pura pandai lalu ia menggunakan Qur’an sebagai masal, sampai-sampai ia terlihat sebagai sedang bersenda-gurau.


Faedah-faedah Amsal

1). Menonjolkan sesuatu ma’qul ( yang hanya bisa dijangkau akal, abstrak ) dalam bentuk konkrityang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya; sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam bentuk, kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’, dimana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikitpun dari perbuatannya itu.
            “Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian atu itu ditimpa hujan yang lebat, lalu menjadilah ia bersih ( tidak bertanah ). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan.” ( al-Baqarah [2]:264 ).
            2). Menyingkapkan hakikat-hakikat yang mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Misalnya:
            “Mereka yang memakan ( mengambil ) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran ( tekanan ) penyakit gila.” ( al-Baqarah [2]:275 ).
            3). Mengumpulkan makna yang menaruk lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti amsal kaminah dan amsal mursalah dalam ayat-ayat diatas.
            4). Mendorong orang yang diberi masal untuk berbuat sesuai dengan isi masal, jika ia merupakan suatu yang disenangi jika. Misalnya Allah membuat masal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dijalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak. Allah berfirman:
            “Perumpamaan ( nafkah yang dikeluarkan oleh ) orang-orang yang menafkahkan hartamereka dijalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bilir seratus biji. Allah melipatgandakan ( ganjaran ) bagi siapa yang ia kehendaki. Dan Allah maha luas ( karunia-Nya ) lagi maha mengetahui.” ( al-Baqarah [2]:261 ).
            5). Menjauhkan ( tanfir, kebalikan no. 4 ), jika isi masal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing:
            “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seseorang diantra kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya.” ( al-Hujarat [49]:12 ).
6). Untuk memuji orang yang diberi masal. Seperti firman-Nya tentang para sahabat:
“Demikianlah perumpamaan ( masal ) mereka dalam Tuarat dan perumpamaan ( masal ) mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus diatas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir ( dengan kekuatan orang-orang mukmin ).” ( al-Fath [48]:29 ). Demikianlah keadaan para sahabat. Pada mulanya mereka hanya golongan minoritas, kemudian tumbuh berkembang hingga keadaannya semakin kuat dan mengagumkan hati karena kebesaran mereka.
            7). Untuk menggambarkan ( dengan masal itu ) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya masal tentang keadaan orang yang dikarunia Kitabullah tetapi ia tersesat jalan hingga tidak mengamalkannya, dalam ayat:
            “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami ( pengetahuan tentang isi al-Kitab ), kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh syaitan ( sampai ia tergoda ), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesengguhnya Kami tinggikan ( derajat )nya dengan ayat-ayat itu, tetapi ia cenderung kepada dunia dan memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaan ( masal )-nya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya ( juga ). Demikian itulah perumpamaan ( masal ) orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah ( kepada mereka ) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” ( al-Araf’ [7]:175-176 ).
            8). Amsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatkan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebut amsal didalam Qur’an untuk peringtan dan pelajaran. Ia berfirman:
            “Dan sungguh Kami telah membuat bagi manusia didalam Qur’an ini setiap macam perumpamaan ( masal ) supaya mereka mendapat pelajaran.” ( az-Zumar [39]:27 ),
            “Dan perumpamaan-perumpamaan ( masal ) itu Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” ( al-‘Ankabut [29]:43 ).
            Nabi juga membuat masal dalam hadisnya. Demikian juga pada da’i yang menyeru manusia kepada Allah mempergunkan disetiap masa untuk menolong kebenaran dan menegakkan hujjah. Para pendidikpun menggunakannya dan menjadikannya sebagai media untuk membujuk dan melarang, memuji dan mencaci.


            Membuat Masal dalam Qur’an

            Telah menjadi tradisi para sastrawan, menggunakan amsal di tempat-tempat yang kondisinya serupa atau sesuai dengan isi amsal tersebut. Jika hal demikian dibenarkan dalam ucapan-ucapan manusia yang telah berlaku sebagai masal, maka para ulama tidak menyukai penggunaan ayat-ayat Qur’an sebagai masal. Mereka tidak memandang perlu bahwa orang harus membacakan sesuatu ayat amsal dalam Kitabullah ketika ia menghadapi suatu urusan duniawi. Hal ini karenakan demi menjaga keagungan Qur’an dan kedudukannya dalam jiwa orang-orang mukmin.
            Abu ‘Ubaid berkata, “Demikianlah, seseorang yang ingin bertemu dengan sahabatnya atau ada kepentingan dengannya, tiba-tiba sahabat itu datang tanpa diminta, maka ia berkata kepadanya secara humor:
            “Kamu datang menurut waktu yang ditetapkan wahai Musa’ ( Ta Ha [20]:40 ). Perbuatan demikian perbuatan merupakan penghinaan terhadap Qur’an.”
            Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, “Janganlah kamu menyerupakan ( sesuatu ) dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah. “Maksudnya, kata Abu ‘Ubaid, janganlah kamu menjadikan bagi keduanya sesuatu perumpamaan, baik berupa ucapan maupun perbuatan.




Kesimpulan

            Amtsalul Qur’an adalah cabang ilmu yang mempelajari perumpamaan dalam Al-Qur’an. Di antara orang yang menyusun ilmu ini adalah Syaikh Abdur Rahman Muhammad bin Husain An-Naisaburi. Kemudian disusul oleh Imam Abdul Hasan bin Muhammad Al-Mawardi, Ibnu Qayyim dan Jalaludin As-Suyati.
            Pengertian Amtsal berbeda dari segi bahasa dan istilahnya. Amtsal adalah perumpamaan, cerita, sifat atau keadaan. Sedangkan dari istrilah banyak pengertiannya. Baik dari ulama ilmu adab, bayan atau tafsir. Walaupun begitu dapat disederhanakan bahwa amtsal adalah mengungkap makna yang abstrak menjadi nyata dan menonjolkan makna dalam bentuk perkataan yang menarik, padat dan mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa.
            Allah meggunakan banyak perumpamaan dalam Al-Qur’an agar manusia memperhatikan, memahami, mengambil pelajaran, berpikir dan selalu mengingat. Sayangnya, perumpamaan yang ada didalam Al-Qur’an tidak selalu membuat manusia langsung mengerti, melainkan tetap ada yang mengingkarinya. Maka dibutuhkan ilmu Amtsalul Qur’an.
            Amtsalul Qur’an penting untuk memotivasi orang agar mengikuti perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsal, menghindarkan diri dari perbuatan negatif. Amtsal lebih berpengaruh pada kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapart memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah SWT banyak yang menyebut Amtsal untuk peringatan dan supaya dapat diambil hikmahnya.












DAFTAR PUSTAKA

Al-Qattan, Manna’Khail. 2013. Study ilmu-ilmu Qur’an. Bogor:Litera:AntarNusa.



1 Lihat Balagatul Qur’an, oleh Ustaz Muhammad al-Khidir, halaman 6
2 Balagatul Qur’an, halaman 33.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LINGKUNGAN DAN ATMOSFER PENDIDIKAN ISLAM

Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya

Makalah sejarah dan Turunnya Al-Qur'an