PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN
PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN
Yang di maksud
dengan pengumpulan alqu’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama dalah salah
satu dari dua pengertian:
Pertama: Pengumpulan
dalam artihafazhahu
(menhafalnya dalam hati). Jumma’ul qu’an artinya
huffadzhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkanya di
dalam hati. Inilah makna yang di maksudkan kepada nabi, dimana nabi senantiasa menggerak-gerakan
kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu turun
kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena keinginan besarnya untuk
menghafal.
Ibnu abas
mengatakan, bahwa Rasulullah SAW sangat ingin segera menguasai Al-Qur’an yang
di turunkan. Ia menggerakkkan kedua bibir dan lidahnya karena takut apa yang
turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka setelah ayat ini
turun Rasulullah diam apabila jibril datanag. Dalam redaksi yang berbeda beliau
mendengarkan . “dan apabila jibril telah pergi, barulah beliau membacakannya
sebagaimana di perintahkan Allah.”
Kedua: pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertipkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat di tulis dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagianya di tulis sesuda sebagan yang lain.
Pengumpulan
AL-Qur’an dalam makna hafalan pada masa nabi
Rasulullah SAW,
amat menyukai wahyu, ia senan tiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu,
lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti di janjikan allah, “Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya”(Al-Qiyamah:17)
Oleh sebab itu ia adalah hafizh(penghafal) Al-Qur’an pertama dan contoh
paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, Al-Qur’an di turunkan selama
dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan
terkadang turun sampai sepuluh ayat, setiap kali sebuah ayat turun, dihafal
dalam dada dan di letakan dalam hati, sebab bangsa arap memeng mempunyai daya
hafal yang kuat, seba pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan
berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka di lakukan dengan catatan di
hati mereka.
Dalam kitab
shohihnya, albukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal Al-Qur’an
dengan tiga riwayat, mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil,
Maulana abu Huzaifah, Muadz bin Jabal, Ubbay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu
Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda’.
Pembatasan
tujuh orang sebagaimana di sebutkan Al-Bukhori di atas , maksudnya mereka
itulah yang hafal seluruh isi Al-Qur’an di luar kepala, dan selalu merujukkan
hafalannya di hadapan nabi, isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para
penghafal Al-Qur’an lainnya yang berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal
tersebut
Ibnul jazari
sebagai seorang saikh para penghafal pada masanya menyebutkan “penukilan
Al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan bukan tulisan dan kitab, merupakan
salah satu jenis keistimewaan yang di berikan allah pada umat ini”
Pengumpulan
Al-Qur’an dalam makna penulisannya pada masa nabi
Rasulullah SAW
mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an (asisten) dari sahabat-sahabat
terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin ka’ab dan Zaid bin tsabit. Bila ayat
turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat
ayat tersebut dalam surat. Maka
penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati
Sebagian
sahabat juga menulis AL-Qur’an atas keinginan sendiri pada ‘Asib (pelepah
kurma), Likhaf (lempengan batu), Karonif (papan tipis), Riqa’ (kulit
atau daun kayu), Adim (Lembaran kulit binatang asli), dan Aktaf (potongan
tulang-belulang binatang). Zaid bin tsabit berkata “kami menyusun AL-Qur’an di
hadapan Rasulullah pada kulit binatang”
Malaikat jibril
membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan rmadhan setiap
tahunya
Tulisan-tulisan
pada masa nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, biasanya yang ada di tangan
seorang sahabat misalnya, belum tentu di miliki oleh yang lain
Susunan atau
tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap
ayat yang turun di tuliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk nabi
_beliau biasanya menginstruksikan bahwa
ayat ini harus di letakkan dalam surat ini
Dengan
demikian, jam’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) di masa nabi ini di
namakan: 1. Hifdzan (hafalan) dan 2. kitabatan (pembukuan) yang
pertama.
Pengumpulan AL-Qur’an pada masa
abu bakar
Abu bakar
menjabat sebagai kholifah pertama dalam islam sesudah Rasulullah wafat, Ia di
hadapkan dengan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang
Arab, karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk
memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan yamamah yang terjadi pada
tahun ke dua belas hijriyah melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal
Al-Qur’an dalam perang ini melibatkan tujuh puluh Qori’ dari para sahabat
gugur, Umar bin al-khotob merasa khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia
menghadap abu bakar dan dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan
membukukan AL-Qur’an karena di khawatirkan akan musnah, sebab perang yamamah
telah menggugurkan banyak para Qori’.
Abu bakar
adalah orang yang pertama kali mengumpulkan kitab allah, “jam’ul Al-Qur’an
pada masa abu bakar ini di namakan dengan jam’u Al-Qur’an ats-tsani
(pengumpulan Al-Qur’an kedua).
Keistimewaan pengumpulan Qur’an di zaman Abu Bakar ra ini
adalah :
1.
Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail & kemantapan yang
sempurna.
2.
Yang tercatat dalam mushaf adalah terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh.
3.
Ijma’ shahabat terhadap mushaf tersebut secara mutawwatir bahwa yang
tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4.
Mencakup “tujuh huruf” Qur’an yang dinukil berdasarkan riwayat yang
shahih.
Pengumpulan
AL-Qur’an pada masa Utsman
Setelah
kekuasaan islam semakin luas, dan para Qurro’ pun tersebar di pelbagai
wilayah penduduk di setiap wilayah itu biasanya mempelajari Qira’at
(bacaan) ayat yang di kirim dari Qori’ yang di bacaka kepada mereka. Pembacaan
AL-Qur’an yang mereka bacakan berbeda-beda relevan dengan perbedaan huruf-huruf
yang dengannya Al-Qur’an di turunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu
pertemuan atau di suatu medan peperangan sebagian mereka akan merasa heran akan perbedaan Qiro’at ini
Ketika
penyerbuan armenia dan Azerbaijan dari penduduk iraq, termasu hudzaifah bin
Al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an,
sebagian bacaan itu tercampur dengan ketidak fasihan, masing-masing
mempertahankan dn berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang
menyalahi bacaannya mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan demikian,
hudzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepdanya apa yang telah
dilihatnya
Utsman kemudian
mengirm utusan kepada hafshah (untuk meminjamkan mushaf abu bakar
yang ada padanya) dan hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu
kepadanya. Kemudian ushman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshori, abdullah bin
Az-Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrohman bin Al-Harits bin Hissam (tiga
orang Quroissy). Lalu ia memerintahkan mereka menyalin dan memperbanyak mushaf,
jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Qurays itu, hendaklah di
tulis dalam bahasa Quraisi, karena Al-Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka.
Mereka
melaksanakan itu setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf,
Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafshah. Selanjutnya
Utsman mengirim mushaf yang baru tersebut ke setiap wilayah dan memerintahkan
agar semua Al-Qur’an dan mushaf yang lainnya di bakar.[1]
Perbedaan
antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena
banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban
dari para qari’ sedangkan motif Usman untuk mengumpulkan Qur’an adalah karena banyak
nya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannya sendiri di
daerah-daerah dan saling menyalahkan satu terhadap yang lain. Pengumpulan
Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan
Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang dan
pelepah kurma, kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan
surah-surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh
dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an
diturunkan.
Sedangkan pada masa Usman adalah
menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu, umtuk mempersatukan
kaum Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam
huruf lainnya.
Tertib Ayat & Surat
Al-Qur’an
terdiri dari beberapa surah. Dimana surah mengandung ayat-ayat. Dalam banyak
riwayat dikhabarkan bahwa ayat-ayat di dalam surah yang sama tidak turun secara
berurutan. Begitu pula surah dalam Al-Qur’an, ia tidaklah turun seperti susunan
yang kita temui saat ini. Lalu, bagaimana para shahabat ra menyusunnya sehingga
Al-Qur’an kita dapati seperti sekarang ? Berikut akan dijelaskan mengenai
kemusykilan ini.
Tertib Ayat
Ulama
sepakat bahwa tertib ayat adalah bersifat tauqifi sesuai dengan petunjuk
Rasulullah SAW, berikut argumentasinya :
1.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan & Abu Ja’far Ibnu Az-Zubair dalam
Munasabah berkata, “Tertib ayat didalam surah-surah ituberdasarkan
tauqifi dari Rasulullah SAW dan atas perintahnya tanpa diperselisihkan kaum
muslimin.”
2.
Imam As-Suyuthi berkata,“Ijma’ & nash yang serupa menegaskan
tertib ayat itu adalah tauqifi tanpa diragukan lagi.”
Hadits dari Rasul SAW :
“Utsman bin Abil ‘As
berkata, “Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi
tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian sabdanya, “Jibril telah datang
kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari
surah An-Nahl [16] : 90.” (HR. Ahmad dengan isnad hasan)
3.
Terdapat sejumlah hadist yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah
tertentu. Jika tertibnya dapat dirubah tentunya ayat-ayat itu tidak akan
didukung oleh hadits-hadits itu.
Diriwayatkan dari Abu
Darda dalam hadits marfu’:
“Siapa yang hafal 10
ayat dari awal surat Al-Kahfi, Allah SWT akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain dikatakan, “Siapa yang membaca 10 ayat
terakhir dari surah Al-Kahfi…” (HR. Muslim)
4.
Rasulullah SAW telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayatnya dalam shalat
maupun khutbah Jum’at.
5.
Ibnu Zubair berkata :
“Aku mengatakan
kepada Utsman bahwa Al-Baqarah [2] : 234 telah dimansukh oleh ayat lain. Tetapi
mengapa anda menulisnya atau membiarkannya dituliskan ?” Ia menjawab, “Kemenakanku,
aku tidak mengubah sesuatupun pada tempatnya.” (HR.
Bukhari)
6.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa Jibril selalu mengulangi
& memeriksa hafalan Qur’an Rasul SAW ditiap bulan Ramadlan, & pada
bulan Ramadlan diakhir hidup Rasul SAW sebanyak dua kali.
Ibnu Abbas berkata,
“Rasulullah orang yang paling pemurah & puncak kemurahannya pada Bulan
Ramadlan ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui Jibril pada tiap Bulan
Ramadlan. Jibril membacakan Qur’an kepadanya & ketika Rasulullah ditemui
Jibril itu ia sangat pemurah sekali.” (HR.
Muttafaq ‘Alaih)
Hadits lain dari Aisyah
ra dari Fatimah ra berkata :
“Nabi SAW menitipkan
rahasia kepadaku bahwa Jibril as memaparkan kepadaku Al-Qur’an setahun sekali
& dia memaparkannya kepadaku pada tahun ini sebanyak dua kali. Aku tidak
melihatnya hadir kecuali telah tiba saatnya ajalku.”
7.
Iman Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan susunan ayat-ayat yang terkandung
dalam setiap surat pada mushaf sekarang adalah tauqifi. Usman ra
mengatakan setelah Nabi SAW menerima wahyu, beliau bersabda : “Letakkan
ayat (ini) kedalam surat yang menyebutkan tentang ini.” Atau dalam
hadits shahih yang lain rasul SAW bersabda, “Letakkanlah ayat-ayat ini
didalam surat ini ini setelah ayat ini.”
Tertib Surat
As-Surah
berasal dari kata As-Su’ru yang artinya sisi minuman didalam bejana.
Karena itu, seakan-akan bagian dari Al-Qur’an. As-Surah juga berarti
kedudukan yang tinggi, sebab ia adalah kalam Allah SWT. Nama-nama surah
Al-Qur’an ditetapkan secara tauqifi. Ada beberapa surah yang mempunyai
lebih dari satu nama. Misalnya Al-Fatihah memiliki 20 nama diantaranya Fatihatul
Kitab, Ummul Kitab, Ummul Qur’an, As-Sab’ul Matsani dll.
Al-Bara’ah juga dinamakan At-Taubah. Al-Isra juga dinamakan Banu Israil.
Mengenai
tertib surah terjadi perbedaan pendapat. Pertama, bersifat tauqifi,
dengan alasan bahwa Rasul SAW telah membaca beberapa surah secara tertib
didalam shalatnya. Kedua, bersifat ijtihadi, dengan alasan adanya
perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf shahabat dan adanya keraguan Utsman ra
mengenai keberadaan QS. Al-Anfal & QS. Al-Bara’ah. Ketiga, sebagian tauqifi
& sebagian ijtihadi,karena sebagian tertib surah ada dalilnya &
yang lain tidak. Dari ketiga pendapat itu berikut ini dijelaskan :
1.
Menurut Manna’ Al-Qattan, pendapat pertama dianggap paling kuat. Beliau
berargumentasi dengan pendapat Abu Bakar Ibnu Anbari yang mengatakan
bahwa Allah SWT telah menurunkan Qur’an seluruhnya dilangit dunia, sedangkan
Jibril senantiasa memberitahukan Rasul SAW dimana letak ayat Al-Qur’an. Al-Kirmani
mengatakan bahwa tertib surah seperti saat ini adalah seperti di Lauh Mahfuz
& menurut tertib inilah Rasul SAW membacanya pada Jibril as setiap tahun di
Bulan Ramadlan. Lalu Al-Qattan mengatakan bahwa seandainya itu ijtihadi,
tentu shahabat akan tetap berpegang pada mushaf mereka bukannya Mushaf
Utsmani.Mengenai keraguan Utsman ra tentang QS. Al-Anfal & QS. Al-Bara’ah,
isnadnya berkisar pada Yazid Al-Farisi yang oleh Bukhari dikelompokkan sebagai dhu’afa
(lemah). Disamping itu menurut Syaikh A. Syakir (komentar dalam Musnad Ahmad),
“Hadits itu tak ada asal mulanya.” Paling jauh hadits itu menunjukkan
ketidaktertiban kedua surah itu. Lalu untuk pendapat ketiga, Al-Qattan
mengatakan bahwa tertib surah yang tidak didukung dalil tidak berarti ijtihadi.
Dan surah yang seperti ini jumlahnya hanya sedikit.
2.
Pendapat kedua, Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa susunan
surat-surat Al-Qur’an didasarkan pada ijtihad shahabat namun mengarah
pada ijma’ shahabat. Beliau mengatakan bahwa hadits Imam Ahmad
diatas adalah shahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim. An-Nabhani juga
memaparkan bahwa Rasul SAW dalam shalat malamnya pernah membaca surah An-Nisa’
sebelum Ali Imran. M. Husain Abdullah mengatakan bahwa susunan tersebut
(mushaf Usman ra) tidak diingkari oleh seorang sahabat pun, oleh karena itu hal
ini merupakan suatu ijma’ shahabat yang merupakan salah satu dalil yang
diakui secara syar’i.
3.
Pendapat ketiga, Ibnu Hajar mengatakan bahwa tertib sebagian besar surah
Al-Qur’an tidak dapat ditolak adalah bersifat tauqifi. Namun mungkin
juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan
yang lain. Sementara As-Suyuthi mengatakan bahwa surah Al-Qur’an pada masa
Rasul SAW telah tersusun seperti saat ini kecuali surah Al-Anfal &
Al-Bara’ah. Pendapatnya ini cenderung kepada pendapat Baihaqi.
Ketiga
pendapat diatas tidak didukung dengan hadits Rasul SAW yang secara tegas
menjelaskan tertib surah Al-Qur’an. Namun dapat dikatakan bahwa ketiganya
(terutama pendapat pertama & kedua) memberikan konsekuensi yang sama, bahwa
tertib surah pada mushaf Al-Qur’an saat ini wajib diikuti.
Jumlah surat, ayat,
kata & huruf Al-Qur’an
Jumlah
surah Qur’an ada 114 surah. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa jumlah
ayat-ayat Qur’an 6616 ayat & jumlah hurufnya 323.671 huruf. Namun terdapat
perhitungan lain yang berbeda, walluhu a’lam. Ayat ialah kalimat dari
Al-Qur’an. Ia diketahui secara tauqifi bukan qiasi. Menurut
kesepakatan tidak sah shalat dengan membaca separuh ayat. Beliau selanjutnya
mengatakan bahwa ayat terpanjang adalah ayat tentang hutang piutang sedangkan
surah terpanjang adalah surah Al-Baqarah.
Empat
Bagian Al-Qur’an
Al-Qur’an dibagi
menjadi empat bagian, sabda Rasulullah SAW :
“Aku diberi As-Sab’ut
Tiwal (tujuh yang panjang) sebagai ganti Taurat, aku diberi Al-Miun (ratusan)
sebagai ganti Zabur, aku diberi Al-Matsani sebagai ganti Injil dan aku diberi
kelebihan dengan Al-Mufashshal.”
1.
At-Tiwal
Ada
tujuh surah yaitu Al-Baqarah (286 ayat), Ali Imran (200 ayat), An-Nisa’ (176
ayat), Al-Maidah (120 ayat), Al-An’am (165 ayat), Al-A’raf (206 ayat) dan yang
ketujuh -ada yang mengatakan – Al-Anfaal (75 ayat) dan At-Taubah (129 ayat)
sekaligus karena tidak dipisahkan basmalah. Dan ada yang mengatakan surah Yunus
(109 ayat).
2.
Al-Miun
Surah-surah
yang jumlah ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3.
Al-Matsani
Surah-surah
yang ayat-ayatnya dibawah Al-Miun. Dinamakan Al-Matsani karena surah itu
diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari At-Tiwal & Al-Miun
4.
Al-Mufashshal
Surah
yang dimulai dari surah Qaf ada pula yang mengatakan dimulai dari surah
Al-Hujarat atau yang lain. Disebut Al-Mufashshal karena banyaknya fasl
(pemisah) diantara surah-surah itu dengan basmalah. Al-Mufashshal terbagi atas Tiwal,
Ausat dan Qisa
Rasam
Utsmani
Empat
orang shahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an dimasa Uuman ra telah menempuh
metode khusus dalam penulisannya yang telah disetujui Usman ra. Sehingga metode
itu dikenal dengan Ar-Rasmul ‘Usmani lil Mushaf. Lalu bagaimana
statusnya. Berikut ini akan dibahas.
Hukum Rasam Utsmani
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakai Rasam Utsmani :
1.
Ada yang mengatakan wajib dipakai karena bersifat tauqifi. Mereka
menisbatkan dengan hadits :
Mereka menyebutkan
bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis wahyu,
”Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan ‘ya’, bedakan ‘sin’, jangan kamu
miringkan ‘mim’, baguskan tulisan lafal ‘Allah’, panjangkan ‘Ar-Rahman’ dan
letakkan penamu di telinga kirimu. Karena demikian akan lebih dapat
mengingatkanmu.”
Ibnu
Mubarak mengutip dari gurunya, Abdul Aziz
Ad-Dabbag mengatakan kepadanya,“ Para shahabat dan orang lain tidak
campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Qur`an karena penulisan Qur`an
adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka
untuk menulisnya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang dengan menambahkan
alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau
oleh akal. Sebagaimana susunan Qur`an adalah mukjizat, maka penulisannya pun
mukjizat pula.
2.
Banyak ulama yang mengatakan bukan tauqifi dari Nabi SAW, hanya
merupakan ijma’ shahabat. Sehingga tetap wajib diikuti.
Asyhab berkata,“Malik ditanya :
Apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan
orang ? Malik menjawab : Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan pertama.” (Riwayat
Abu ‘Amr Ad-Dani dalam Al-Muqni).
Kemudian
kata Asyhab, “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm itu diantara ulama
umat Islam.”
Imam
Ahmad berkata,“Haram hukumnya menyalahi tulisan
Mushaf Utsmani dalam hal wawu, ya, alif atau yang lain.” (Imam
As-Suyuthi, Al-Itqan jilid 2 hal 168& Az-Zakasyi, Al-Burhan
jilid 1 hal 379)
3.
Segolongan mengatakan Rasm Utsmani hanya merupakan istilah sehingga boleh
mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’ ini bertujuan untuk
memudahkan orang. Selain itu tidak ada dalil yang menunjukkan harus diikuti.
Pembahasan Hukum
Rasam Utsmani
Imam
Taqiyuddin An-Nabhani
mengatakan
bahwa penulisan mushaf bersifat baku dari Allah SWT. Segala sesuatu yang unsur
penyebabnya adalah samaa’ (pendengaran) merupakan sesuatu yang bersifat tauqifi.
Tidak terdapat riwayat adanya perselisihan dalam penulisan mushaf berdasarkan
pada tulisan yang ditulis dihadapan Rasulullah SAW. Berarti itu merupakan
ketetapan Rasul SAW & ijma’ shahabat yang mengacu pada penulisan
ini. Tauqifinya penulisan Al-Qur’an adalah terbatas pada penulisan mushaf
secara keseluruhan.
Manna’
Al-Qattan
mengatakan
bahwa sebenarnya para penulis mushaflah yang mempergunakan istilah & cara
tersebut pada masa Utsman ra atas izinnya. Hal ini bisa diketahui ketika Utsman
ra memberikan pedoman :
“Jika kalian
berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit mengenai penulisan sebuah lafal
Al-Qur’an, maka tulislah menurut logat Quraisy. Karena ia diturunkan dalam
logat mereka.”
Dan ketika terjadi
perselisihan dalam penulisan kata tabut ataukah tabuh diantara
empat orang tersebut, Utsman ra mengatakan :
“Tulislah
tabut, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”
Manna’
Al-Qathan melanjutkan,“Qur’an harus ditulis dengan Rasm Utsmani yang sudah
terkenal. Rasm Utsmani telah diakui & diwarisi oleh umat Islam sejak masa
Utsman ra. Pemeliharaan Rasm Utsmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan
Qur’an dari perubahan & pergantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan
menuliskannya menurut istilah imla’ disetiap masa, maka ia akan mengakibatkan
perubahan mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri
berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang sama & bervariasi pula dalam
beberapa kata diantara satu negeri dengan negeri yang lain.”
Masih
menurut Manna’ Al-Qattan bahwa dalam Syu’abul Iman, Imam Baihaqi
mengatakan, “Siapa yang menulis Mushaf, hendaklah ia memperhatikan ejaan
yang mereka pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi
mereka dalam hal itu & jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis
sedikitpun. Ilmu mereka lebih banyak, lebih jujur hati & lisannya serta
lebih dapat dipercaya dari pada kita. Maka bagi kita tidak pantas menyangka
bahwa diri kita lebih tahu dari mereka.”
Abu
Bakar Al-Baqalani dalam Al-Intisar
mengatakan bahwa tidak ada yang diwajibkan oleh Allah SWT mengenai
(cara/bentuk) penulisan mushaf. Karena itu para penulis Al-Qur’an & Mushaf
tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka, hal
ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran
& tauqifi. Tidak ada dalil baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’
Ummat juga Qiyas Syar’i. Hal tersebut karena tulisan-tulisan itu
hanyalah tanda-tanda & rasm yang berfungsi sebagai isyarat, lambang &
rumus.
Pendapat
ketiga menurut saya dapat dikatakan lemah, mengingat adanya kesepakatan
penulisan mushaf di zaman Usman ra. Pendapat pertama & kedua kiranya dapat
disatukan dengan mengatakan bahwa keduanya memberikan konskwensi sama bahwa
tidak diperbolehkannya menulis mushaf kecuali dengan merujuk kepada rasm
Usmani. Pendapat kedua mengakui adanya ijma’ shahabat tetapi menolak
adanya hadits yang mendukung bahwa penulisan itu adalah tauqifi. Padahal
tauqifinya penulisan rasm, bisa juga diambil dari ijma’ shahabat.
Perbaikan Rasam
Utsmani
Perbaikan
Rasm Utsmani pertama kali dilakukan oleh Abul Aswad Ad-Du’ali atas
permintaan dari Ali. Awalnya Abul Aswad tidak hendak melakukannya. Tapi ketika
ia mendengar seorang qari’ yang salah membaca surat At-Taubah [9] : 3,
maka akhirnya beliau setuju. Beliau membuat tanda baca dalam Al-Qur’an. Tanda fathah
(satu titik diatas huruf), kasrah (satu titik dibawah huruf), dhamah
(satu titik disela huruf) & sukun (dua titik).
Kemudian
Al-Khalil mengubah tanda baca. Fathah (sempang diatas huruf), kasrah
(sempang dibawah huruf), dhamah (wawu kecil diatas huruf) & tanwin
(tambahan tanda serupa). Alif yang dihilangkan diganti, pada tempatnya dengan
warna merah. Hamzah yang dihilangkan ditulis berupa hamzah dengan warna merah
tanpa huruf. Pada ‘nun’ & ‘tanwin’ sebelum huruf ‘ba’
diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang ‘nun’ & ‘tanwin’
sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. ‘Nun’
& ‘tanwin’ tidak diberi apa-apa ketika idgam & ikfa.
Setiap huruf yang harus dibaca sukun diberi tanda sukun &
huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf
sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali huruf ‘ta’ sebelum ‘ya’,
maka sukun tetap dituliskan.
Abad ke-3
H terjadi perbaikan & penyempurnaan. Huruf yang bersyaddah diberi
seperti busur, alif wasal diberi lekuk sesuai harkat sebelumnya.
Kemudian secara bertahap mulai diletakkan nama & jumlah ayat, rumus kepala
ayat & tanda waqaf, tanda juz, tanda hizb dll.
Para
ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan
terjadi penambahan dalam Al-Qur’an berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud, “Bersihkan
Qur’an & jangan dicampuradukkan dengan apapun.” Kemudian akhirnya hal
itu sampai kepada hukum boleh & bahkan anjuran. Al-Hasan & Ibn
Sirin pernah berkata, “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.”
Dan diriwayatkan dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan,” Tidak
mengapa memberi syakal pada mushaf.” An-Nawawi mengatakan,”Pemberian
titik & pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena dapat menjaga
mushaf dari kesalahan & penyimpangan.”[2]
Komentar
Posting Komentar