PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN


PENGUMPULAN DAN PENERTIBAN AL-QUR’AN
 

Yang di maksud dengan pengumpulan alqu’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama dalah salah satu dari dua pengertian:

Pertama: Pengumpulan dalam artihafazhahu  (menhafalnya dalam hati). Jumma’ul qu’an artinya huffadzhuhu (para penghafalnya, yaitu orang-orang yang menghafalkanya di dalam hati. Inilah makna yang di maksudkan kepada nabi, dimana nabi senantiasa menggerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena keinginan besarnya untuk menghafal.

Ibnu abas mengatakan, bahwa Rasulullah SAW sangat ingin segera menguasai Al-Qur’an yang di turunkan. Ia menggerakkkan kedua bibir dan lidahnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka setelah ayat ini turun Rasulullah diam apabila jibril datanag. Dalam redaksi yang berbeda beliau mendengarkan . “dan apabila jibril telah pergi, barulah beliau membacakannya sebagaimana di perintahkan Allah.”

Kedua: pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertipkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat di tulis dalam satu lembaran yang terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surat, sebagianya di tulis sesuda sebagan yang lain.

Pengumpulan AL-Qur’an dalam makna hafalan pada masa nabi

Rasulullah SAW, amat menyukai wahyu, ia senan tiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti di janjikan allah, “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”(Al-Qiyamah:17) Oleh sebab itu ia adalah hafizh(penghafal) Al-Qur’an pertama dan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, Al-Qur’an di turunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat, setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan di letakan dalam hati, sebab bangsa arap memeng mempunyai daya hafal yang kuat, seba pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka di lakukan dengan catatan di hati mereka.
Dalam kitab shohihnya, albukhari telah mengemukakan tentang tujuh penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayat, mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil, Maulana abu Huzaifah, Muadz bin Jabal, Ubbay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Ad-Darda’.
Pembatasan tujuh orang sebagaimana di sebutkan Al-Bukhori di atas , maksudnya mereka itulah yang hafal seluruh isi Al-Qur’an di luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan nabi, isnad-isnadnya sampai kepada kita. Sedangkan para penghafal Al-Qur’an lainnya yang berjumlah banyak tidak memenuhi hal-hal tersebut
Ibnul jazari sebagai seorang saikh para penghafal pada masanya menyebutkan “penukilan Al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan bukan tulisan dan kitab, merupakan salah satu jenis keistimewaan yang di berikan allah pada umat ini”

Pengumpulan Al-Qur’an dalam makna penulisannya pada masa nabi

Rasulullah SAW mengangkat para penulis wahyu Al-Qur’an (asisten) dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, Ubay bin ka’ab dan Zaid bin tsabit. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan, di mana tempat ayat  tersebut dalam surat. Maka penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati
Sebagian sahabat juga menulis AL-Qur’an atas keinginan sendiri pada ‘Asib (pelepah kurma), Likhaf (lempengan batu), Karonif (papan tipis), Riqa’ (kulit atau daun kayu), Adim (Lembaran kulit binatang asli), dan Aktaf (potongan tulang-belulang binatang). Zaid bin tsabit berkata “kami menyusun AL-Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang”
Malaikat jibril membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan rmadhan setiap tahunya
Tulisan-tulisan pada masa nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, biasanya yang ada di tangan seorang sahabat misalnya, belum tentu di miliki oleh yang lain
Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun di tuliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk nabi _beliau biasanya  menginstruksikan bahwa ayat ini harus di letakkan dalam surat ini
Dengan demikian, jam’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an) di masa nabi ini di namakan: 1. Hifdzan (hafalan) dan 2. kitabatan (pembukuan) yang pertama.

            Pengumpulan AL-Qur’an pada masa abu bakar
Abu bakar menjabat sebagai kholifah pertama dalam islam sesudah Rasulullah wafat, Ia di hadapkan dengan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan murtadnya sejumlah orang Arab, karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan yamamah yang terjadi pada tahun ke dua belas hijriyah melibatkan sejumlah besar sahabat penghafal Al-Qur’an dalam perang ini melibatkan tujuh puluh Qori’ dari para sahabat gugur, Umar bin al-khotob merasa khawatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap abu bakar dan dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan AL-Qur’an karena di khawatirkan akan musnah, sebab perang yamamah telah menggugurkan banyak para Qori’.
Abu bakar adalah orang yang pertama kali mengumpulkan kitab allah, “jam’ul Al-Qur’an pada masa abu bakar ini di namakan dengan jam’u Al-Qur’an ats-tsani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).






 Keistimewaan pengumpulan Qur’an di zaman Abu Bakar ra ini adalah :
1.       Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail & kemantapan yang sempurna.
2.       Yang tercatat dalam mushaf adalah terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh.
3.       Ijma’ shahabat terhadap mushaf tersebut secara mutawwatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4.       Mencakup “tujuh huruf” Qur’an yang dinukil berdasarkan riwayat yang shahih.
Pengumpulan AL-Qur’an pada masa Utsman
Setelah kekuasaan islam semakin luas, dan para Qurro’ pun tersebar di pelbagai wilayah penduduk di setiap wilayah itu biasanya mempelajari Qira’at (bacaan) ayat yang di kirim dari Qori’ yang di bacaka kepada mereka. Pembacaan AL-Qur’an yang mereka bacakan berbeda-beda relevan dengan perbedaan huruf-huruf yang dengannya Al-Qur’an di turunkan. Apabila mereka berkumpul di suatu pertemuan atau di suatu medan peperangan sebagian mereka akan merasa heran  akan perbedaan Qiro’at ini
Ketika penyerbuan armenia dan Azerbaijan dari penduduk iraq, termasu hudzaifah bin Al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an, sebagian bacaan itu tercampur dengan ketidak fasihan, masing-masing mempertahankan dn berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan demikian, hudzaifah segera menghadap Utsman dan melaporkan kepdanya apa yang telah dilihatnya
Utsman kemudian mengirm utusan kepada hafshah (untuk meminjamkan mushaf  abu bakar  yang ada padanya) dan hafshah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian ushman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshori, abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrohman bin Al-Harits bin Hissam (tiga orang Quroissy). Lalu ia memerintahkan mereka menyalin dan memperbanyak mushaf, jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Qurays itu, hendaklah di tulis dalam bahasa Quraisi, karena Al-Qur’an turun dalam dialek bahasa mereka.
Mereka melaksanakan itu setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Utsman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafshah. Selanjutnya Utsman mengirim mushaf yang baru tersebut ke setiap wilayah dan memerintahkan agar semua Al-Qur’an dan mushaf yang lainnya di bakar.[1]
  
 Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman

            Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari’ sedangkan motif Usman untuk mengumpulkan Qur’an adalah karena banyak nya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannya sendiri di daerah-daerah dan saling menyalahkan satu terhadap yang lain.  Pengumpulan Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang dan pelepah kurma, kemudian di kumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansukh dan mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an diturunkan.                                             
Sedangkan pada masa Usman adalah menyalinnya dalam satu huruf di antara ketujuh huruf itu, umtuk mempersatukan kaum Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya.
Tertib Ayat & Surat
Al-Qur’an terdiri dari beberapa surah. Dimana surah mengandung ayat-ayat. Dalam banyak riwayat dikhabarkan bahwa ayat-ayat di dalam surah yang sama tidak turun secara berurutan. Begitu pula surah dalam Al-Qur’an, ia tidaklah turun seperti susunan yang kita temui saat ini. Lalu, bagaimana para shahabat ra menyusunnya sehingga Al-Qur’an kita dapati seperti sekarang ? Berikut akan dijelaskan mengenai kemusykilan ini.

Tertib Ayat
Ulama sepakat bahwa tertib ayat adalah bersifat tauqifi sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, berikut argumentasinya :
1.       Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan & Abu Ja’far Ibnu Az-Zubair dalam Munasabah berkata, “Tertib ayat didalam surah-surah ituberdasarkan tauqifi dari Rasulullah SAW dan atas perintahnya tanpa diperselisihkan kaum muslimin.”
2.       Imam As-Suyuthi berkata,“Ijma’ & nash yang serupa menegaskan tertib ayat itu adalah tauqifi tanpa diragukan lagi.”
Hadits dari Rasul SAW :
Utsman bin Abil ‘As berkata, “Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian sabdanya, “Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah An-Nahl [16] : 90.” (HR. Ahmad dengan isnad hasan)
3.       Terdapat sejumlah hadist yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah tertentu. Jika tertibnya dapat dirubah tentunya ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadits-hadits itu.
Diriwayatkan dari Abu Darda dalam hadits marfu’:
“Siapa yang hafal 10 ayat dari awal surat Al-Kahfi, Allah SWT akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain dikatakan, “Siapa yang membaca 10 ayat terakhir dari surah Al-Kahfi…” (HR. Muslim)
4.       Rasulullah SAW telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayatnya dalam shalat maupun khutbah Jum’at.
5.       Ibnu Zubair berkata :
“Aku mengatakan kepada Utsman bahwa Al-Baqarah [2] : 234 telah dimansukh oleh ayat lain. Tetapi mengapa anda menulisnya atau membiarkannya dituliskan ?” Ia menjawab, “Kemenakanku, aku tidak mengubah sesuatupun pada tempatnya.” (HR. Bukhari)
6.       Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa Jibril selalu mengulangi & memeriksa hafalan Qur’an Rasul SAW ditiap bulan Ramadlan, & pada bulan Ramadlan diakhir hidup Rasul SAW sebanyak dua kali.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah orang yang paling pemurah & puncak kemurahannya pada Bulan Ramadlan ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia ditemui Jibril pada tiap Bulan Ramadlan. Jibril membacakan Qur’an kepadanya & ketika Rasulullah ditemui Jibril itu ia sangat pemurah sekali.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Hadits lain dari Aisyah ra dari Fatimah ra berkata :
“Nabi SAW menitipkan rahasia kepadaku bahwa Jibril as memaparkan kepadaku Al-Qur’an setahun sekali & dia memaparkannya kepadaku pada tahun ini sebanyak dua kali. Aku tidak melihatnya hadir kecuali telah tiba saatnya ajalku.”
7.       Iman Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan susunan ayat-ayat yang terkandung dalam setiap surat pada mushaf sekarang adalah tauqifi. Usman ra mengatakan setelah Nabi SAW menerima wahyu, beliau bersabda : “Letakkan ayat  (ini) kedalam surat yang menyebutkan tentang ini.” Atau dalam hadits shahih yang lain rasul SAW bersabda, “Letakkanlah ayat-ayat ini didalam surat ini ini setelah ayat ini.”










Tertib Surat
As-Surah berasal dari kata As-Su’ru yang artinya sisi minuman didalam bejana. Karena itu, seakan-akan bagian dari Al-Qur’an. As-Surah juga berarti kedudukan yang tinggi, sebab ia adalah kalam Allah SWT. Nama-nama surah Al-Qur’an ditetapkan secara tauqifi. Ada beberapa surah yang mempunyai lebih dari satu nama. Misalnya Al-Fatihah memiliki 20 nama diantaranya Fatihatul Kitab, Ummul Kitab, Ummul Qur’an, As-Sab’ul Matsani dll. Al-Bara’ah juga dinamakan At-Taubah. Al-Isra juga dinamakan Banu Israil.
Mengenai tertib surah terjadi perbedaan pendapat. Pertama, bersifat tauqifi, dengan alasan bahwa Rasul SAW telah membaca beberapa surah secara tertib didalam shalatnya. Kedua, bersifat ijtihadi, dengan alasan adanya perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf shahabat dan adanya keraguan Utsman ra mengenai keberadaan QS. Al-Anfal & QS. Al-Bara’ah. Ketiga, sebagian tauqifi & sebagian ijtihadi,karena sebagian tertib surah ada dalilnya & yang lain tidak. Dari ketiga pendapat itu berikut ini dijelaskan :
1.       Menurut Manna’ Al-Qattan, pendapat pertama dianggap paling kuat. Beliau berargumentasi dengan pendapat Abu Bakar Ibnu Anbari yang mengatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan Qur’an seluruhnya dilangit dunia, sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan Rasul SAW dimana letak ayat Al-Qur’an. Al-Kirmani mengatakan bahwa tertib surah seperti saat ini adalah seperti di Lauh Mahfuz & menurut tertib inilah Rasul SAW membacanya pada Jibril as setiap tahun di Bulan Ramadlan. Lalu Al-Qattan mengatakan bahwa seandainya itu ijtihadi, tentu shahabat akan tetap berpegang pada mushaf mereka bukannya Mushaf Utsmani.Mengenai keraguan Utsman ra tentang QS. Al-Anfal & QS. Al-Bara’ah, isnadnya berkisar pada Yazid Al-Farisi yang oleh Bukhari dikelompokkan sebagai dhu’afa (lemah). Disamping itu menurut Syaikh A. Syakir (komentar dalam Musnad Ahmad), “Hadits itu tak ada asal mulanya.” Paling jauh hadits itu menunjukkan ketidaktertiban kedua surah itu. Lalu untuk pendapat ketiga, Al-Qattan mengatakan bahwa tertib surah yang tidak didukung dalil tidak berarti ijtihadi. Dan surah yang seperti ini jumlahnya hanya sedikit.
2.       Pendapat kedua, Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa susunan surat-surat Al-Qur’an didasarkan pada ijtihad shahabat namun mengarah pada ijma’ shahabat. Beliau mengatakan bahwa hadits Imam Ahmad diatas adalah shahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim. An-Nabhani juga memaparkan bahwa Rasul SAW dalam shalat malamnya pernah membaca surah An-Nisa’ sebelum Ali Imran. M. Husain Abdullah mengatakan bahwa susunan tersebut (mushaf Usman ra) tidak diingkari oleh seorang sahabat pun, oleh karena itu hal ini merupakan suatu ijma’ shahabat yang merupakan salah satu dalil yang diakui secara syar’i.
3.       Pendapat ketiga, Ibnu Hajar mengatakan bahwa tertib sebagian besar surah Al-Qur’an tidak dapat ditolak adalah bersifat tauqifi. Namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain. Sementara As-Suyuthi mengatakan bahwa surah Al-Qur’an pada masa Rasul SAW telah tersusun seperti saat ini kecuali surah Al-Anfal & Al-Bara’ah. Pendapatnya ini cenderung kepada pendapat Baihaqi.
Ketiga pendapat diatas tidak didukung dengan hadits Rasul SAW yang secara tegas menjelaskan tertib surah Al-Qur’an. Namun dapat dikatakan bahwa ketiganya (terutama pendapat pertama & kedua) memberikan konsekuensi yang sama, bahwa tertib surah pada mushaf Al-Qur’an saat ini wajib diikuti.

Jumlah surat, ayat, kata & huruf Al-Qur’an
Jumlah surah Qur’an ada 114 surah. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa jumlah ayat-ayat Qur’an 6616 ayat & jumlah hurufnya 323.671 huruf. Namun terdapat perhitungan lain yang berbeda, walluhu a’lam. Ayat ialah kalimat dari Al-Qur’an. Ia diketahui secara tauqifi bukan qiasi. Menurut kesepakatan tidak sah shalat dengan membaca separuh ayat. Beliau selanjutnya mengatakan bahwa ayat terpanjang adalah ayat tentang hutang piutang sedangkan surah terpanjang adalah surah Al-Baqarah.
Empat Bagian Al-Qur’an
Al-Qur’an dibagi menjadi empat bagian, sabda Rasulullah SAW :
“Aku diberi As-Sab’ut Tiwal (tujuh yang panjang) sebagai ganti Taurat, aku diberi Al-Miun (ratusan) sebagai ganti Zabur, aku diberi Al-Matsani sebagai ganti Injil dan aku diberi kelebihan dengan Al-Mufashshal.”
1.       At-Tiwal
Ada tujuh surah yaitu Al-Baqarah (286 ayat), Ali Imran (200 ayat), An-Nisa’ (176 ayat), Al-Maidah (120 ayat), Al-An’am (165 ayat), Al-A’raf (206 ayat) dan yang ketujuh -ada yang mengatakan – Al-Anfaal (75 ayat) dan At-Taubah (129 ayat) sekaligus karena tidak dipisahkan basmalah. Dan ada yang mengatakan surah Yunus (109 ayat).
2.       Al-Miun
Surah-surah yang jumlah ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3.       Al-Matsani
Surah-surah yang ayat-ayatnya dibawah Al-Miun. Dinamakan Al-Matsani karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih banyak dari At-Tiwal & Al-Miun
4.       Al-Mufashshal
Surah yang dimulai dari surah Qaf ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Al-Hujarat atau yang lain. Disebut Al-Mufashshal karena banyaknya fasl (pemisah) diantara surah-surah itu dengan basmalah. Al-Mufashshal terbagi atas Tiwal, Ausat dan Qisa

 Rasam Utsmani

Empat orang shahabat yang mengumpulkan Al-Qur’an dimasa Uuman ra telah menempuh metode khusus dalam penulisannya yang telah disetujui Usman ra. Sehingga metode itu dikenal dengan Ar-Rasmul ‘Usmani lil Mushaf. Lalu bagaimana statusnya. Berikut ini akan dibahas.

Hukum Rasam Utsmani
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakai Rasam Utsmani :
1.      Ada yang mengatakan wajib dipakai karena bersifat tauqifi. Mereka menisbatkan dengan hadits :
Mereka menyebutkan bahwa Nabi pernah mengatakan kepada Mu’awiyah, salah seorang penulis wahyu, ”Letakkanlah tinta, pergunakan pena, tegakkan ‘ya’, bedakan ‘sin’, jangan kamu miringkan ‘mim’, baguskan tulisan lafal ‘Allah’, panjangkan ‘Ar-Rahman’ dan letakkan penamu di telinga kirimu. Karena demikian akan lebih dapat mengingatkanmu.”
Ibnu Mubarak mengutip dari gurunya, Abdul Aziz Ad-Dabbag mengatakan kepadanya,“ Para shahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Qur`an karena penulisan Qur`an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam bentuk seperti yang dikenal sekarang dengan menambahkan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak dapat terjangkau oleh akal. Sebagaimana susunan Qur`an adalah mukjizat, maka penulisannya pun mukjizat pula.
2.       Banyak ulama yang mengatakan bukan tauqifi dari Nabi SAW, hanya merupakan ijma’ shahabat. Sehingga tetap wajib diikuti.
Asyhab berkata,“Malik ditanya : Apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaidah penulisan) yang diadakan orang ? Malik menjawab : Tidak, kecuali menurut tata cara penulisan pertama.” (Riwayat Abu ‘Amr Ad-Dani dalam Al-Muqni).
Kemudian kata Asyhab, “Dan tidak ada orang yang menyalahi rasm itu diantara ulama umat Islam.”
Imam Ahmad berkata,“Haram hukumnya menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dalam hal wawu, ya, alif atau yang lain.” (Imam As-Suyuthi, Al-Itqan jilid 2 hal 168& Az-Zakasyi, Al-Burhan jilid 1 hal 379)
3.       Segolongan mengatakan Rasm Utsmani hanya merupakan istilah sehingga boleh mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’ ini bertujuan untuk memudahkan orang. Selain itu tidak ada dalil yang menunjukkan harus diikuti.

Pembahasan Hukum Rasam Utsmani
Imam Taqiyuddin An-Nabhani
mengatakan bahwa penulisan mushaf bersifat baku dari Allah SWT. Segala sesuatu yang unsur penyebabnya adalah samaa’ (pendengaran) merupakan sesuatu yang bersifat tauqifi. Tidak terdapat riwayat adanya perselisihan dalam penulisan mushaf berdasarkan pada tulisan yang ditulis dihadapan Rasulullah SAW. Berarti itu merupakan ketetapan Rasul SAW & ijma’ shahabat yang mengacu pada penulisan ini. Tauqifinya penulisan Al-Qur’an adalah terbatas pada penulisan mushaf secara keseluruhan.
Manna’ Al-Qattan
mengatakan bahwa sebenarnya para penulis mushaflah yang mempergunakan istilah & cara tersebut pada masa Utsman ra atas izinnya. Hal ini bisa diketahui ketika Utsman ra memberikan pedoman :
“Jika kalian berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit mengenai penulisan sebuah lafal Al-Qur’an, maka tulislah menurut logat Quraisy. Karena ia diturunkan dalam logat mereka.”
Dan ketika terjadi perselisihan dalam penulisan kata tabut ataukah tabuh diantara empat orang tersebut, Utsman ra mengatakan :
“Tulislah tabut, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy.”
Manna’ Al-Qathan melanjutkan,“Qur’an harus ditulis dengan Rasm Utsmani yang sudah terkenal. Rasm Utsmani telah diakui & diwarisi oleh umat Islam sejak masa Utsman ra. Pemeliharaan Rasm Utsmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan Qur’an dari perubahan & pergantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’ disetiap masa, maka ia akan mengakibatkan perubahan mushaf dari masa ke masa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderungannya pada masa yang sama & bervariasi pula dalam beberapa kata diantara satu negeri dengan negeri yang lain.”
Masih menurut Manna’ Al-Qattan bahwa dalam Syu’abul Iman, Imam Baihaqi mengatakan, “Siapa yang menulis Mushaf, hendaklah ia memperhatikan ejaan yang mereka pakai dalam penulisan mushaf-mushaf dahulu, janganlah menyalahi mereka dalam hal itu & jangan pula mengubah apa yang telah mereka tulis sedikitpun. Ilmu mereka lebih banyak, lebih jujur hati & lisannya serta lebih dapat dipercaya dari pada kita. Maka bagi kita tidak pantas menyangka bahwa diri kita lebih tahu dari mereka.”
Abu Bakar Al-Baqalani dalam Al-Intisar mengatakan bahwa tidak ada yang diwajibkan oleh Allah SWT mengenai (cara/bentuk) penulisan mushaf. Karena itu para penulis Al-Qur’an & Mushaf tidak diharuskan menggunakan rasm tertentu yang diwajibkan kepada mereka, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran & tauqifi. Tidak ada dalil baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Ummat juga Qiyas Syar’i. Hal tersebut karena tulisan-tulisan itu hanyalah tanda-tanda & rasm yang berfungsi sebagai isyarat, lambang & rumus.
Pendapat ketiga menurut saya dapat dikatakan lemah, mengingat adanya kesepakatan penulisan mushaf di zaman Usman ra. Pendapat pertama & kedua kiranya dapat disatukan dengan mengatakan bahwa keduanya memberikan konskwensi sama bahwa tidak diperbolehkannya menulis mushaf kecuali dengan merujuk kepada rasm Usmani. Pendapat kedua mengakui adanya ijma’ shahabat tetapi menolak adanya hadits yang mendukung bahwa penulisan itu adalah tauqifi. Padahal tauqifinya penulisan rasm, bisa juga diambil dari ijma’ shahabat.

Perbaikan Rasam Utsmani
Perbaikan Rasm Utsmani pertama kali dilakukan oleh Abul Aswad Ad-Du’ali atas permintaan dari Ali. Awalnya Abul Aswad tidak hendak melakukannya. Tapi ketika ia mendengar seorang qari’ yang salah membaca surat At-Taubah [9] : 3, maka akhirnya beliau setuju. Beliau membuat tanda baca dalam Al-Qur’an. Tanda fathah (satu titik diatas huruf), kasrah (satu titik dibawah huruf), dhamah (satu titik disela huruf) & sukun (dua titik).
Kemudian Al-Khalil mengubah tanda baca. Fathah (sempang diatas huruf), kasrah (sempang dibawah huruf), dhamah (wawu kecil diatas huruf) & tanwin (tambahan tanda serupa). Alif yang dihilangkan diganti, pada tempatnya dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan ditulis berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada ‘nun’ & ‘tanwin’ sebelum huruf ‘ba’ diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang ‘nun’ & ‘tanwin’ sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. ‘Nun’ & ‘tanwin’ tidak diberi apa-apa ketika idgam & ikfa. Setiap huruf yang harus dibaca sukun diberi tanda sukun & huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah, kecuali huruf ‘ta’ sebelum ‘ya’, maka sukun tetap dituliskan.
Abad ke-3 H terjadi perbaikan & penyempurnaan. Huruf yang bersyaddah diberi seperti busur, alif wasal diberi lekuk sesuai harkat sebelumnya. Kemudian secara bertahap mulai diletakkan nama & jumlah ayat, rumus kepala ayat & tanda waqaf, tanda juz, tanda hizb dll.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud, “Bersihkan Qur’an & jangan dicampuradukkan dengan apapun.” Kemudian akhirnya hal itu sampai kepada hukum boleh & bahkan anjuran. Al-Hasan & Ibn Sirin pernah berkata, “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf.” Dan diriwayatkan dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman mengatakan,” Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf.” An-Nawawi mengatakan,”Pemberian titik & pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena dapat menjaga mushaf dari kesalahan & penyimpangan.”[2]




[1] HR.Al-Bukhari,Muslim dan yang lain,dari ibnu abbas.

[2] Ia adalah utsman bin said,termasuk imam dalam qurra`. Ia menulis beberapa kitab at-tafsir f al-qira’ati as-sab’I, al-muqni’ fi rasmi al-qur’an dan al-mukhkam fi nuqath al-masahif wafat pada 444 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LINGKUNGAN DAN ATMOSFER PENDIDIKAN ISLAM

Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya

Makalah sejarah dan Turunnya Al-Qur'an