MUHKAM DAN MUTASHABIH STUDI AL-QUR'AN
MUHKAM DAN MUTASHABIH
A.LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah kalam
Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai sumber ajaran agama Islam
yang utama. Semua isi kandungannya merupakan pedoman kuat serta hujja yang ampuh. Kitab suci yang
menakjubkan ini merupakan pegangang umat manusia, sekaligus pelita dalam hidup
dan kehidupan agar dapat meraih kebahgiaan dunia dan akhirat. Di dalamnya
terkandung ayat atau makna yang antar satu dengan lainnya saling menyempurnakan
dan membenarkan, tidak ada pertentangan. Seluruh ayatnya yang jelas diyakini
eksistensinya sebagai wahyu Allah.
Diperlukan persyaratan
yang sangat berat dan penguasaan beberapa disiplin keilmuan agar seseorang
dapat dan mampu menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur’an dengan baik dan benar. Ilmu al-Muhkam wa al-Mutashabihat
termasuk di dalam ilmu-ilmu pokok al-Qur’an karena dalam Al-Qur’an telah
diterangkan bahwa Allah SWT berfirman, “Sebagian
Al-Qur’an ini terdapat ayat-ayat muhkam dan sebagian lagi mutashabihat”. (QS.
Ali Imran [3]: 7). Mutashabihat yaitu yang mengandung pengertian yang tidak tegas atau
samar-samar sehingga masih membutuhkan takwil, ketidakjelasan atau samar-samar
dikarenakan dalam segi lafadnya, yaitu lafad dan maknanya yang timbul beberapa
pengertian. Di samping ayat-ayat yang tergolong muhkamat yaitu yang pengertiannya telah tegas, jelas dan nyata
tanpa memerlukan takwil.
Berbeda dengan tafsir,
takwil menurut al-Qattahan adalah menerjemahkan ayat sesuai dengan keasliannya,
sementara tafsir menerangkan kembali ayat-ayat yang sudah jelas aturan
hukumnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ayat mutashabihat tidak
boleh ditakwilkan kecuali berdasarkan dalil jelas.
B. PENGERTIAN MUHKAM DAN MUTASHABIHAT
Secara etimologi kata
muhkam berasal dari “ihkam” yang
menurut al-Zarqani bermakna “al-man’u” yang
berarti “tercegah”. Dalam Buhuts
al-Mutanawwiah fi Ululm Al-Qur’an, al- muhkam berasal dari al-ihkam yang berarti kemampuan atau
kemahiran. Adapun mnurut istilah terdapat khilafiyah sesama ahli ushul mengenai artinya, yaitu:
1. Yang dinamakan muhkam adalah yang diketahui apa yang dimaksud dengannya.
Adakalanya secara zahir atau nyata dan adakalanya dengan takwil atau pengalihan
artinya.
2. Yang dinamakan muhkam adalah apa yang tidak mungkin ditakwilkan, tapi ia hanya
satu arah.
3. Yang dinamakan muhkam adalah yang jelas atau terang yang dimaksud dengannya,
sehingga ia tidak mungkin dihapuskan.
4. Yang dinamakan muhkam adalah apa yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan
penjelasan.
5. Yang dinamakan muhkam adalah sesuatu yang kukuh dan bundar sehingga tidak ada
seginya.
Dalam hubungan dengan penetapan hukum, maka
menetapkan ketentuan-ketentuan yang dengannya seseorang tercegah dari berbuat
sesuatu diluar ketentuan tersebut. Apabila dikaitkan dengan ayat Al-Qur’an maka
dapat dikatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an itu disusun secara rapih, fasih,
indah dan kokoh serta membedakan antara yang hak dan yang bathil, sedikitpun
tidak ada celah untuk mengkritiknya, inilah makna muhkam dalam arti umum.
Pengertian lughawi inilah yang dimaksud firman Allah dalam surat Q.S Hud 1:
خَبيرٍ حَكِيمٍ لَدُنْ مِنْ
فَصَّلَتْ ثُمَّ اَيَاتُهُ حْكِمَتْأُ الركِتَابٌ
Artinya : “Alif Lam Ra (inilah) kitab yang
ayat-ayatnya disususn dengan sempurna dan dijelaskan secara terperinci yang
diturunkan daris sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”.
Kemudian secara bahasa
(etimologi), kata mutashabihat bersal
dari kata tashabuh yang berarti
“keserupaan” dan “kemiripan”. Adapun mutasyabih
berasal dari kata “syabaha”, yang
berarti penyerupaan dalam makna, karena adanya keserupaan dan bentuk tersebut
mengakibatkan terjadinya kesamaran makna. Adapun menurut istilah ialah:
1. Apa yang bertalian dengan pengaruh ilmu
Allah, seperti: assaa’ah atau
kehancuran total, keluar binatang-binatang besar dan dajal.
2. Apa yang tidak dapat berdiri sendiri dan
membutuhkan keterangan yang lainnya.
3. Apa yang memungkinkan pengertian yang tidak
satu saja.
4. Apa yang tidak terang, apa yang dimaksud
dengan membutuhkan nasakh atau penghapus.
Menurut al-Qattan, mutasyabih ialah keadaan dimana dalam satu kalimat terdapat dua
makna yang tidak dapat dibedakan dari makna yang lainnya, karena adanya
kemiripan diantara keduanya secara konkret atau abstrak. Misalnya ayat yang
terdapat dalam surah al-Fath (48) ayat 10:
عَاهَدَ بِمَا أَوفِى وَمَن
نَفسِهِ عَلَى يَنكُثُ فإِنَّمَا نَكَثَ فَمَن
أَيدِيهم فَؤقَ يَذُالله الله يُبَايِعُونَ اللهإِنَّمَايُبَايِعُنَ يُبَايِعُونَكَ الِّذِينَ أِنَّ فَسَيُوإجرًاعظِيمًا الله عَلَيهِ
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia
kepada kamu sesunggunya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpah dirinya sendiri, dan barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah maka Llah akan memberinya pahala yang besar.
Dalam ayat di atas
terdapat kalimat “yadullahi” yang
berarti tangan Allah dan tangan Allah tidak bisa diserupakan dengan tangan
manusia. Dalam tafsir al-Munir dikatakan, bahwa yang dimaksud oleh ayat
tersebut orang yang berjanji setia biasanya berjabat tangan. Caranya berjanji
setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang
berjanji itu. Jadi, maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan
bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. Jadi,
seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. Hendaklah
diperhatikan, bahwa Allah Mahasuci dari segala sifat-sifat yang menyerupai
makhluknya.
Al-Zarqini dalam
mengartikan ayat-ayat mutashabihat mengatakan
bahwa ia merupakan perbandingan dari ayat-ayat muhkamat. Selanjutnya beliau menjelaskan keduanya, dari berbagai
pendapat ulama:
v Menurut ulama Hanafiah: Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang dalalahnya
jelas, terang, dan tidak mengandung adanya naskh. Sedangkan ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang
samar dan tidak dapat diketahui pengertiannya baik secara naqli maupun aqli,
sesuatu yang ketentuannya dirahasiakan oleh Allah, seperti terjadinya kiamat,
makna al-ahruf al muqatta’ah (huruf-huruf hijaiyyaah yang terputus-putus) pada
beberapa permulaan surat.
v Menurut ulama Ahl al-Sunnah: Ayat-ayat muhkamat pengertiannya dapat diketahui
baik secara lahiriah ataupun takwil. Sedangkan ayat mutashabihat hanya diketahui oleh Allah.
v Menurut Ibn’Abbas dan ulama Ushul: Ayat-ayat muhkamat hanya mengandung satu
pengertian. Sedangkan ayat-ayat mutashabihat
mengandung beberapa pengertian.
v Menurut Imam Ahmad: Ayat muhkamat adalah ayat yang bisa berdiri sendiri dan tidak
membutuhkan penjelasan. Sedangkan mutashabihat
tidak dapat berdiri sendiri dan masih butuh penjelasan. Karena adanya perbedaan
dalam pengertiannya.
v Menurut ulama Muta’akhirin: Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas dan
tidak rancu. Sedangkan ayat mutashabihat
adalah kebalikannya.
Menurut az-Zarkasy dengan mengutip pendapat
an-Naisaburi ada tiga pendapat mengenai ayat Al-Qur’an, yaitu:
1. Al-Qur’an seluruhnya muhakam, pendapat ini berdasarkan surah Hud (11) ayat 1 yang artinya :
Alif
laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dri sisi (Allah) yang
Mahabijaksana lagi Mahatahu.
2. Al-Qur’an seluruhnya mutasyabih, pendapat ini berdasarkan serta az-Zumar (39) ayat 23 yang artinya:
Allah telah menurunkan [erkataan yang paling
baik (yaitu) Al-Qur’an yang mutasyabih.
3. Pendapat yang ketiga mengatakan bahwa
sebagian isi Al-Qur’an itu mutasyabih
dan sebagiannya lagi muhkam, dan ini
pendapat yang paling benar menurut az-Zarkasy karena berdasarkan pada surah Ali Imran (3) ayat 7 yang artinya:
Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an)
kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah
pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat.
C.PEMBAGIAN MUHKAM DAN MUTASYABIH
Az-Zarqani membagi
ayat-ayat mutasyabihat menjadi tiga macam:
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat
sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan tentang dzat Allah dan hakikat
sifat-sifat-Nya, penegetahuan tentang waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya.
Allah berfirman dalam surah al-An’am (6): 59 Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci
semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri........
2. Ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui
maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, seperti ayat-ayat mutasyabihat
yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan seumpamanya.
Allah berfirman dalam surah an-Nisaa’ (4): 3, Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.....
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat
diketahui oleh para ulama tertentu saja. Hal ini yang diisyaratkan Nabi dengan
doanya bagi Ibnu Abbas: “Ya Tuhanku jadikanlah dia seorang yang paham dalam
agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil.” (HR. Bukhari)
D.PENGGOLONGAN AYAT-AYAT MUTASHABIH
Ayat-ayat nutashabih
dapat dikategorikan kepada tiga bagian, yaitu:
1. Mutashabih dari Segi Lafaz
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula
dibagi dua:
a.
Yang dikembalikan kepada yang tunggal yang sulit
permaknaanya, seperti اَلاْبَ dan يَرفُونَ dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz itu
dalam pemakaiannya, seperti lafaz اَليَدُ dan اَلعَينَ
b.
Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan
kalimatnya yang seperti ini ada tiga:
1.
Mutashabih karena ringkasan kalimat, seperti firman
Allah:
وَاِنْ خِفتُم ألا تُفسِطُوافِي
اليَتَامِى
Yang dimaksud dengan اَليَتَامِى di disi ada juga
mencakup اَلتَيمَاتِ
2.
Mutashabih karena luasnya kalimat seperti firman Allah:
شَىءِ كَمِسلِهِ لَيسَ niscaya akan mudah dipahami
jika diungkapkan dengan شَئِ مِسلِهِ لَيسَ
3.
Mutashabih karena susunan kalimatnyan seperti firman
Allah:
عُجُوجًاقَيَّمًالَهُ يَجعَل وَلَم اكِتَابِ عَبدِهِ
عَلَى أُنزِلَ
Akan
mudah dipahami bila diungkapkan dengan
عُجُوجًا لَهُ يَجعَل وَلَم
قَيَّمًا اكِتَابِ عَبدَهِ عَلَى أُنرِلَ
2. Mutashabih dari Segi Maknanya
Mutashabi ini adalah menyangkut sifat-sifat
Allah, sifat hati kiamat, bagaiman dan kapan terjadi. Semua sifat yang demikian
tidak dapat di gambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialami
oleh siapa pun.
3. Mutashabih dari Segi Lafaz dan Maknanya
Mutashabih dari segi ini, menurut as-Suyuthi,
ada lima macam, yaitu:
a.
Mutashabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum
dan khusus
اِفتَلُواالمشرِكِينَ
b.
Mutashabih dari segi acaranya, seperti perintah wajib dan
sunnah
فَانكِحُومَاطَابَ لَكُم مِنَ النِّسَاءِ
c.
Mutashabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
إِتَّقُواالله حَقَّ تُقَاتِهِ
d.
Mutashabih dari segi tempat dan suasana di mana ayat itu
diturunkan misalnya:
وَالرَّاسِخُونَ فِى العِلمِ
e.
Mutashabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan
itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya:
ibadah sholat, dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.
E.METODE PENAFSIRAN ULAMA TERHADAP AYAT-AYAT MUTASHABIHAT
Apabila ditelusuri
pendapat-pendapat ulama tentang ayat mutashabihat yang berhubungan dengan sifat
Tuhan, maka secara garis besar adalah:
1. Menerima tanpa takwil
Golongan salaf (ada yang menyebut sebagai madhab
al-mufawwidah, aliran yang menyerahkan permasalahan kepada Allah)
berpendapat bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutashabihat yang
hanya berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya dikalangan bangsa
Arab hanyalah akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat zanni (tidak
pasti). Padahal sebagian dari ayat-ayat mutashabihat termasuk persoalan
akidah yang dasar pijakannya tidak cukup hanya dengan argument yang bersifat zanni
tetapi harus qat’i (pasti). Karena untuk mendapatkan dasat yang bersifat
qat’i tidak ada jalannya, maka mereka bersikap tawaqquh (tidak mengambil
keputusan dan menyerahkannya kepada Allah).
2. Menerima dengan takwil
Golongan khalaf (biasa disebut juga dengan
madhhab al-Mu’awwilah, golongan yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat
mutashabihat) beranggapan bahwa sikap yang harus diambil dalam hal ini adalah
menghilangkan dari keadaan “kegelapan” yang apabila dibiarkan ayat-ayat
mutashabihat tidak bermakna, akan menimbulkan kebingungan manusia. Sehingga
selama dimungkinkan untuk diadakannya penakwilan terhadapnya maka akalpun
mengharuskan untuk melakukannya. Mereka menyandarkan pada hadist yang
diriwayatkan Ibn’Abbas.
Golongan al-Mutawassitin kemudian muncul dan mengambil
posisis di tengah dua golongan ini (salaf dan khalaf). Diantara yang masuk
didalamnya adalah Ibn al-Daqiq al-‘Id. Ia berpendapat apabila penakwilan
ayat-ayat mutashabihat itu berada “dekat” dengan wilayah ilmu bahasa Arab, maka
penakwilan tersebut bisa diterima. Tetapi bila berada “jauh” darinya maka kita
bersikap tawaqquf. Dan kita harus mengimani makna yang dikandungnya dan
sekaligus mensucikan Allah sehingga tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Kompromi antara dua pendapat itu menurut
Manna Khalil Al-Qattan dapat ditengahi dengan memahami makna takwil. Karena
dengan mengetahui makna takwil, maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat
diatas tidak terdapat pertentangan. Lafaz takwil digunakan untuk menunjukkan 3
makna:
a.
Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajah) ke
makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya.
b.
Takwil dengan makna tafsir (menerangkan) yaitu
pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami.
c.
Takwil adalah hakikat yang kepadanya pembicaraan
dikembalikan. Maka takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang Zat dan
sifat-sifat-Nya ialah hakikat sifat-sifat-Nya. Dan taqwil dari apa yang
diberikan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari
kemudian iru sendiri.
F.TINJAUAN KRITIS AYAT-AYAT MUTASHABIH
Membicarakan masalah
pro dan kontra pendapat para ulama terhadap ayat-ayat mutashabihat adalah
merupakan persoalan yang rumit. Diperlukan pendekatan takwil dan tafsir dan
penguasaan semua ilmu pokok al-Qur’an untuk menilai pandangan dan pendapat para
ulama berkaitan dengan ayat-ayat ini. Namun membiarkannya lewat begitu saja
bukan merupakan solusi terbaik.
Penulis menyakini bahwa
bentuk-bentuk tasbih memang sengaja digunakan Allah dalam sebagian kecil
kalam-Nya. Dengan pola ini, Allah menjelaskan sesuatu yang konsepsional kepada
kehidupan yang aktual. Bentuk semacam ini pula dipergunakan dalam al-Qur’an
sebagai upaya mendekatkan penjelasan ajaran-ajarannya melalui ilustrasi yang
mampu ditangkap akal dan indra manusia. Pola seperti ini sekaligus membuat
sususnan redaksi al-Qur’an jauh lebih indah, sehingga nikmat untuk dibaca,
disimak dan dihayati sekaligus menjadi bukti bahwa al-Qur’an adalah bener-bener
kalamullah. Sebagaimana sikap yang telah ditunjukkan oleh golongan al-Mutawassitin
terhadap ayat-ayat mutashabihat di atas.
Keyakinan bahwa segala
sesuatu yang berasal dari Allah pastilah tidak mungkin tidak mengandung sebuah
nilai dan hanya bersifat sia-sia. Ketersia-siaan ini justru akan menjadikan
kita terjerumus dalam pandangan yang bersufat apatis dan acuh tak acuh. Dalam beberapa
kesempatan, Allah malah “sengaja” memberikan ruang dan kesempatan kepada
manusiauntuk berusaha sekuat mungkin menyingkap tabir-tabir rahsia yang memang
sengaja ditutupi oleh-Nya. Terlebih-lebih dalam menyingkap dan mengungkapkan
ayat-ayat yang tidak bersentuhan oleh akidah yang hanya didasarkan oleh adanya
rasa ketakutan akan berbuat dosa karena menyalahi dari makna dan maksud
sebenarnya.
Hanya saja penggunaan
akal yang berlebih-lebihan dengan tanpa disadari oleh kemampuan yang mencukupi,
tentu bukankah perbuatan yang dianjurkan. Ijtihad tetap diperlukan dengan
segala ilmu, syarat dan batsan-batasannya. Bukankah mengambil manfaat dan
pelajaran dari segala yang masih bersifat “setengah terbuka”, bukan dengan cara
menduga-duganya? Keberagaman pendapat terhadap ayat-ayat mutashabihat
justru malah memberikan khazanah dan peluang yang semakin lebar pada manusia
untuk selalu berusaha dan memacu dalam membuka rahasia-rahasia ayat-ayat mutashabihat.
G.CONTOH AYAT MUTASHABIH YANG KEMBALI KEPADA MUHKAM
1. Firman Allah SWT:
إِنَّ آلله يَغفِرُآلذُّنُوبَ جَمِيعًا
Sesunggunya Allah
mengampuni dosa semuanya. (QS. Az-Zumar [39]: 53)
Ayat ini termasuk
mutashabih, karena mengandung dua pengertian yaitu: (a) Allah mengampuni dosa
semuanya, bagi yang bertaubat; (b)pengampunan dosa, secara keseluruhan. Bagi
siapa yang tidak bertaubat, maka dikembalikan kepada muhkamah. Adapun yang
dikembalikan dari mutashabihah
kepada muhkamah ialah firman Allah SWT:
وَإِنِّى لَغَفَّارٌلِّمَن تَابَ وَءَامَنَ
وَعَمِلَ صَلِحًاثُمَّ آهتَدَى
Sesunggunya Aku (Allah) benar-benar suka mengampuni bagi siapa yang
bertaubat, beriman, dan beramal saleh. (QS.
Taha [20]: 82).
Dari ayat muhkam ini terlihat, bahwa Allah telah mengampuni semua
dosa-dosa, bagi siapa yang telah bertaubat kepada-Nya, beriman dan mengikuti
jalan hidayahnya.
2.Ayat Mutashabih
a. Firman Allah SWT:
إِنَّانَحنُ نَزَّلنَاآلذِّكرَوَإِنَالَهُ
لَحَفِظُونَ
Sesunggunya Kami-lah yang telah menurunkan Al-Qur’an dan sesunggunya
Kami ialah penjagaanya yang benar-benar. (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Ayat ini mengandung dua pengertian , yaitu: (a) kalimat inna
(kami) mengandung pengertian satu yang digunakan, dan adalah kebenatran; (b) Inna
itu untuk jamaah atau sekumpulan atau banyak. Pengertian seperti ini adalah
batil. Oleh sebab itu, maka kita harus kembalikan ia kepada ayat muhkamah.
Ia memungkinkan pula menunjukkan, bahwa Dia (Allah) yang diagungkan satu dan di
samping-Nya ada yang lain. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang Nasrani
yang berarti tunggal atau bertrinitas, yaitu bertuhan kepada: (1) Allah,
(2) Yesus, (3) Roh Kudus.
b.Adapun ayat mutashabih yang kita kembalikan kepada muhkamah,
antara lain: Firman
Allah SWT:
إِلَهُكُم إِلَهُ وَحِدٌ
Tuhanmu (kamu banyak) ialah Tuhan yang satu. (QS. An-Nahl (16): 22)
Tidak ada Allah mengangkat anak.(QS. Al-Mu’minun [23]: 9)
وَآلَّذِينَ هُم عَلَى صَلَوَتِهِم يُحَافِظُونَ
Katakanlah, Allah ialah Esa. Allah ash-Shamad
Ayat-ayat ini termasuk muhkamat, yang dimaksud denga Inna itu
hanyalah Allah Yang Esa yang mengagungkan dirinya.
H.HIKMAH AYAT-AYAT MUTASHABIH
Perbedaan dan
perdebatandalam memahami ayat-ayat mutashabih, tetaplah memberikan keyakinan
bahwa ayat-ayat mutashabihat ini memberikan banyak manfaat kepada manusia.
Diantaranya:
1. Ayat-ayat mutashabihat menjadi dalil betapa
lemah dan terbatasnya kemampuan manusia. Betapa luas dan mahirnya manusia
tetaplah Tuhan sendirilah yang mengetahui hakekat sebuah kebenaran.
2. Keberadaannya menjadi cobaan dan ujian bagi
manusia (khususnya ayat mengenai hari kiamat, siksa neraka, nikmat surga,
datangnya dajjal, dabbah). Mereka mau percaya atau tidak terhadap
hal-hal yang gaib sebagai pembuktian atas kualitas iman mereka.
3. Menambah wawasan, karena dengan sendirinya
seorang peneliti didorong untuk membandingkan pandangannya atau pandangan
madhhad-nya mengenai maksud ayat-ayat mutashabihat tersebut dengan
pandangan orang lain, sehingga ia akan menyimpulkan atau sampai pada pendapat
yang dekat dengan kebenaran.
4. Sebagai isyarat bahwa secara umum kandungan
al-Qur’an mencakup kalangan Khawas (orang-orang tertentu) dan awam. Sifat orang
awam adalah sulit untuk memahami esensi sesuatu. Misalnya, mereka sulit
memahami suatu wujud yang tidak mempunyai materi atau dimensi. Dalam hal ini
bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sederhana yang sesuai dengan kemampuan
mereka agar mereka dapat mencernanya, akan tetapi di balik itu terkandung makna
yang sebenarnya.
5. Sebagai rahmat bagi manusia yang lemah dan
tidak tahu segala-galanya, agar mereka tidak malas dan berusaha untuk
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sebagaiman ayat-ayat tentang kematian dan
hari kiamat.
6. Dengan terkandungnya muhkam dan mutashabih
dalam al-Qur’an, maka memaksa orang untuk meneliti dan menggunakan
argumen-argumen akal. Dengan demikian ia akan terbebas dari kegelapan taqlid.
Hal ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan keabsahan untuk
memeganginya. Sekiranya seluruh ayat al-Qur’an adalah muhkam, maka tentu tidak
memerlukan argument akal akan terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hamid, Abdul. 2016. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta : Prenadamedia Group.
Efendi, Nur, dan Muhammad Fathurrohman. 2014. Studi Al-Qur’an.
Yogyakarta : Teras.
Komentar
Posting Komentar