QUR'AN- QIRAAT DAN AHLINYA

A. PENGERTIAN


                Kata qira’at berasal dari Qira’ah.Ia merupakan masdar dari kat qira’a, adapun asal katanya itu adalah qara’a - yaqra’u – qira’atanyang mempunyai arti membaca. Maka arti kata Qira’at secara harfiah berarti bacaan, adapun menurut istilah, qira’at adalah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-qur’an yang dipakai oleh seorang imam qura’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam hal ucapan Al-Qur’anul karim.dan ilmu qira’at beraryi ilmu tentang bacaan.Qira’ah ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah.
            Secara singkat didapat pengertian bahwa istilah Qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-Qur’an. Menurut Muhasyin[1], Qira’at adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang cara menuturkan atau menyampaikan kata-kata (kalimat) dalam Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperbedakan sesuai dengan jalan orang yang menukilkannya.
            Definisi diatas menggambarkan bahwa Al-Qur’an, sebagai kitab yang turun atau datang dari Allah SWT mempunyai cara tersendiri dalam membacanya, ia tidak sama dengan buku-buku lainnya; ia mempunyai tempat waqaf dan pengulangan bacaan, ia mempunyai ketentuan idgham, mad, tafhim, tarkik, idhar, dan lain sebagainya, yang terangkum dalam suatu kajian ilmu yang disebut dengan ilmu tajwid.
            Tidak seperti sekarang dulu pada zaman sahabat atau khalifah banyak terjadi perbedaan bacaan Al-qur’an, karena terkadang suatu kata atau kalimah dalam Al-Quran dibaca lebih dari satu cara sesuai tuntunan atau ajaran nabi. Adapun beberapa Qura’ yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah  dengan standar dari masa sahabat yang mulia. Diantara sahabat yang popular dengan bacaannya adalah, Ubai, Zaid bin Tsabit, ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-asyari, dan lain lain. Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat berpedoman kepada Rasulullah.

           
            Berikut adalah penegasan nabi tentang Al-Quran turun dengan tujuh huruf.           
قال رسول الله صلعم : إن هذا القرأن إنزل على سبعة إحرف فقرإوا ما تيسر منه .

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh  macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.” (HR. Bukhari Muslim)[2]
Kebolehan membaca Al-Qur’an dengan berbagi cara adalah suatu kelapangan yang Alah berikan kepada umat islam, terutama orang Arab pada masa Al-Qur’an diturunkan. Sebab mereka memiliki dialeg atau lajhah yang berbeda-beda antara satu suku dengan suku yang lain. Suatu ungkapan yang mudah diucapkan oleh seseorang, mungkin bagi orang lainnya sulit.
Seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Umar RA.

Yang artinya;
“Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa mudhar”

Apabila kita menghitung suku-suku mudhar, maka kita dapati suku mudhar terdiri atas tujuh suku, yaitu; huzdail, kinanah, qais, dhahab, tamimur rabab, ashad bin khuzaimah, dan quraisy.
Sebagaimana diriwayatkan dari ibnu abbas bahwasanya ia berkata ;
“Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh Bahasa, lima diantaranya dengan Bahasa Ajaz dan dua dengan Bahasa Arab, Ajaz, yaitu Sa’ad bin Bakar, Nashr bin Muawwiyah, dan Tsaqif, mereka ini disebut sebagai ULYA HAWAZIN (petinggi hawazin)
Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hatim As-Sijitsani bahwasanya ia berkata; “Al-Qur’an diturunkan dengan Bahasa Qurasy, Huzdail, Azid, Rubai’ah, Hawazin, dan Sa’ad bin Bakar.
Demikian juga diriwayatkan imam Asy-Syuyuti dalam Al-Itqan pendapat-pendapat yang tidak disanadkan antara lain
1.      bahwasanya Qira’at itu tujuh Bahasa yang terpisah-pisah bagi seluruh bangsa Arab, setiap huruf (Qiraat) itu milik kabilah yang masyhur3.
2.      Bahwasanya Qira’at itu tujuh Bahasa, 4 milik Ajaz Hawazin, dan 3 milik Quraisy.
3.      Bahwasanya Qira’at itu tujuh Bahasa, yaitu Bahasa Quraisy, Bahasa, Yaman, Jurhum, Hawazin, Qudhoah, Tamim, dan Thayyi’.
4.      Bahwasanya Qira’at itu dua Ka’ab yaitu ka’ab bin Umar dan Ka’ab bin Lu’ayyi. Keduanya ini mempunyai 7 bahasa.
Dengan begitu banyaknya lahjah dan Bahasa maka untuk memberikan kemudahan, Rasulullah membolehkan membaca Al-Qur’an sesuai dengan lahjah yang ia kuasai, akan tetapi semua ini harus sesuai berdasarkan petunjuk Rasul. Dengan demikian, orang jaman sekarang tidak boleh membaca Al-Qur’an sesuai dengan sekehendaknya, kecuali jika tidak mampu melafalkan lafazd tertentu.Misalnya, disebabkan oleh halangan pada lidah atau gigi yang tidak bisa dirubah[3].
Membaca Al-Quran dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan para imam qari’ yang diterima dari Nabi, haruslah melalui musyafahah (diterima langsung). Artinya, walaupun secara teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi seseorang hanya boleh membaca Al-Qur’an dengan menggunakan Qira’at yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqi dan musyafahah. Karena hanya bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran dan musyafahah.[4]

 

 

 



BSEJARAH TIMBULNYA QIRA’AH


Periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai zaman thabi’in.orang-orang yang menguasai Al-Qur’an adalah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnya berasal dari Nabi.Sedangkan mushaf-mushaf tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimah didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan beberapa bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis dalam satu wajah yang lain dan begitu seterusnya. Tidak diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab Qira’ah dan Al-Qur’an.
Kalangan sahabat sendiri dalam mengambil dari Rasul menggunakan sara[5] yang berbeda-beda. Ada yang membacanya deengan satu huruf dan ada yang mengambilnya dari huruf/bacaan.Bahkan, ada yang lebih dari itu.Kemudian mereka tersebar ke seluruh penjuru daerah dalam keadaan semacam ini.
Ketika mengirimkan mushaf-mushaf ke penjuru kota khalifah Utsman RA. Mengirimkan pula para sahabatnya yang memiliki cara membaca tersendiridengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar ke seluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para thabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut.
Az-Zahabi menyebutkan didalam Thobaqotul Qurraa’, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli Qira’at Qur’an ada 7 orang, yaitu ; Utsman, Ali, Ubai, Zaid, Abu Darda, dan Abu Musa. Lebih lanjtu ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari Qira’at dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ab. Ibn Abbas belajar pula ke Zaid.
Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in disetiap negeri mempelajari Qira’at.
Diantara para sahabat tersebut ada yang tinggal di Madinah, yaitu Ibn Muyassab, Urwah, Salim, Umar bin abd. Aziz, Sulaiman, dan Ata – keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz Al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, ibn Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di mekah ialah, Ubaid bin Umar, Ata bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan ibn Abu Malikah
Thabi’in yang tinggal dikuffah ialah Al-Qamah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr bin Syurahbil, Al-haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurrahman as-Sulami, Sa’id bin Jabir, an-Nakha’I dan asy-Sya’bi.
Yang tinggal di Basrah ialah Abu Aliyah, Abu Raja, Nasr bin Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah al-Mughirah bin abu Syihab al-Makhzumi, murid utsman dan Khalifah bin sa’d sahabat abu bakar.
Oleh karena itu beraneka ragam gaya basa lah pengambilan para Qira’at entah karena mereka dari berbeda suku maka dari itu lajhah mereka berbeda. Dan mereka sebarkan ke berbagai daerah dan banyak murid atau thabi’it thabi’it lain. Sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalam.Dan mencurahkan segalanya untuk Qira’at dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Itulah sejarah timbulnya qiraat dan macam-macamnya.Sekalipun ada perbedaan, itu hanya berkisar pada hal-hal yang ringan dibanding dengan jumlah yang disepaktinya, sebagaimana dimaklumi.Dan perbedaan ini masih dalam batasan batasan huruf Sab’ah dimana Al-Qur’an diturunkan dari Allah.
Sebagai tambahan Qira’at-qira’at itu bukanlah tujuhhuruf sebagaimana dimaksud kan dalam hadist pada bab diatas. Menurut pendapat yang paling masyhur[6] dan kuat, meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qira’at-qira’at hanya merupakan madzhab bacaan qur’an para iam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafhim, tarqiq, imalah, idhgam, izhar, isyba’, madd, qasr, takhfif, dan lain sebagainya. Namun semuanya itu berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan Qira’at, seperti yang telah dijelaskan. Dan persoalnnya telah berakhir sampai pada pembacaan yang terakhir (al-Urdhah al-Akhirah) yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Utsman mendorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut.

 

C. BENTUK-BENTUK PERBEDAAN BACAAN

               
                Ayat Al-Qur’an, pada kata atau kalimat tertentu, dibaca denga berbagai bentuk bacaan. Para imam Qari’ – sesuai dengan apa yang mereka riwayatkan dari Nabi – berbeda dalam membacanya. Berikut berberapa contohnya:
1.      Penambahan kata dalam suatu qira’at sedangkan qira’at yang lain kata itu tidak ada. Hal ini banyak terdapat  dalam qira’at  syadz, seperti yang terdapat dalam Surah An-Nisa (4) ayat 12.
وَإِن كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلٰلَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وٰحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ

Said Bin Abi Waqas dari kalangan salaf menambahkan kata “MIN AM” setelah kata “UKHTUN[7]”.
2.      Menggunakan kata yang berbeda. Artinya, dalam suatu Qira’at, misalnya mengguakan suatu kata sedangkan dalam qira’at lainnya digunakan kata yang lain pula. Hal ini, misalnya terdapat pada Al-Maidah ayat 38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكٰلًا مِّنَ اللَّـهِ
Diriwayatkan dari jabir bahwa Ibnu Mas’ud mengganti kata “AIDIYAHUM” dengan kata “AYMANAHUMA[8]
3.      Mendahulukan suatu kata dari kata yang lain, seperti surah Al-Baqarah ayat 279.
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
pada umumnya para ahli Qira’at sepakat membacanya seperti bacaan diatas. Akan tetapi, dalam sebuah qira’at syadz, ayat itu dibaca dengan mendahulukan kata “LAA TUDZLAMUUNA” sehingga dibaca seperti berikut
وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوٰلِكُمْ لَا تُظْلَمُونَ وَلَا تَظْلِمُون[9]َ
4.      Menggunakan huruf yang berbeda, yaitu suatu qira’at berbeda dengan qiraat yang lainnya dalam persoalan huruf yang digunakan dalam suatu kata. Hal ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an, seperti kata  تَعۡمَلُونَ, dengan menggunakan TA diawal kata, ada beberapa ahli qira’at yang membacanya dengan awal kata YA.[10]
5.      Menggunakan harakat yang berbeda, seorang imam qari’ membaca suatu huruf dengan harakat fathah, misalnya, sedangkan yang lain membacanya dengan kasroh. Sebagai contoh dapat dilihat pada kata َأَرۡجُلَڪُمۡ  dalam surah Al-Maidah ayat 6
 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَڪُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِ‌ۚ 
Ibn. Katsir, Abu amr, Hamzah dan ‘Asyim membaca َأَرۡجُلَڪُمۡdengan harokat kasroh pada lam, sedangkan imam qari’ lain membacanya dengan harokat fathah pada lam[11].
6.      Menggunakan kata yang berbeda .semua qira’at membaca suatu lafal dengan menggunakan kata yang sama. Tetapi bentuk atau sighatnya berbeda. Hal ini misalnya terihat pada penggunaan kata مَسَـٰجِدَ yang terdapat dalam surah At-Taubah ayat 17, yaitu;
 مَا كَانَ لِلۡمُشۡرِكِينَ أَن يَعۡمُرُواْ مَسَـٰجِدَ ٱللَّهِ شَـٰهِدِينَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِم بِٱلۡكُفۡرِ‌ۚ
Ibn.Katsir, Abu amr, Hamzah, ‘Asyim dan Yaqub membaca مَسَـٰجِدَdengan bentuk mufrod atau tunggal, sedangkan qari’ lain membacanya dengan bentuk jama’. Akan tetapi para ahli qira’at tidak berbeda mengenai hal itu dalam ayat 18 surah yang sama mereka membacanya dalam bentuk yang sama.
Selain dari perbedaan diatas, terdapat pula perbedaan dalam menentukan bunyi lafal, seperti membaca kataٱلصَّلَوٰةَqira’at warasyi membaca huruf lam yang terdapat pada kalimah tersebut dengan tebal atau tafkhim sebagaimana membaca lam pada lafal jalalah. Sedangkan qira’at lainnya membaca dengan ringan tarqiq. Demikian pula pada lafazd ADH-DHUHA misalnya sebagian ahli qira’at membaca HA dengan pada kata tersebut dengan harakat fathah secara sempurna dan sebagian lain membacanya antara harokat fathah dan kasroh (imalah) sehingga terdengar ADH-DHUHE.

D. HIKMAH BANYAKNYA BENTUK BACAAN

               
                Banyak kalangan orientalis yang menjadikan perbedaan qira’at sebagai bahan untuk mengkritik Al-Quran dan menanamkan keraguan dalam masyarakat islam terhadap Al-Qur’an. Mereka mengatakan perbedaan qiraat itu muncul karena tidak adanya I’rob[12] dan I’jam[13] pada huruf-huruf Al-quran, mulai dari masaya turun sampai masa pemberian tanda baca dan I’jam, orang-orang membaca sesuai dengan perkiraannya, sehingga munculah perbedaan perbedaan itu. Hal ini merupakan bagian dari usaha para orientalis menanamkan karaguan pada masyarakat islam terhadap Al-Quran, mereka – sebagai langkah awal- ingin membuat umat islam ragu atau tidak menyakini bahwa qiraat tersebut diajarkan oleh nabi tetapi adalah rekayasa atau buatan orang orang setelah nabi. Tujuan akhirnya adalah agar umat islam meragukan Al-Qur’an.
            Padahal qiraat yang berfariasi tersebut berasal dari Nabi. Dia mengajarkan kepada para sahabat dan sahabat mengajarkan kepada para tabi’in dan tabi’in mengajarkan kepada muridnya secara mutawattir, demikian seterusnya sampai pada umat islam pada masa yang akan datang.
            Bervariasinya qiraat mempunyai beberapa faedah. Al-Qothathan menyebutkan empat macam faedah;
a)      Meringankan dan memudahkan umat islam untuk membaca Al-Quran, suatu lafal yg sulit diucapkan diganti dengan lafal yang mudah diucapkan.
b)      Menunjukan betapa terjaganya kitab Allah ini dari perubahan dan penyimpangan.
c)      Sebagai bukti kemukizatan Al-Quran dari segi kepadatan maknanya, karena suatu qiraat menunjukkan suatu hukum syara’[14] tertentu tanpa pengulangan lafal.
d)     Menjelaskan hal-hal yang mungkin belum jelas dari qiraat-qiraat yang lain.

E. SYARAT DAN MACAM-MACAM QIRA’AT


            Suatu bacaan dianggap sahih dan boleh diikuti haruslah memenuhi tiga syarat yaitu sebagai berikut.
1.       Bacaan itu sesuai dengan salah satu Mushaf  Ustmani, jangan bertentangan dengannya. Meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasam (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialeg qira’at yang mereka ketahui. Misalnya, mereka menuliskan  ٱلصِّرَٲطَ dalam ayat   ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٲطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ (٦)surah Al-fatihah. Dengan SHAD sebagai ganti dari SIN. Mereka tidak menulisakan SIN yang merupakan asal ini agar lafaz tersebut dapat pula dibaca dengan SIN. Meskipun dalam dalam suatu segi berbeda dengan rasam, namun qira’at dengan SIN pun telah memenuhi atau sesuai dengan Bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dimungkinkan pula.
Yang dimaksudkan sesuai dan hanya sekedar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah)  adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti  مَـٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ (٤)lafazd مَـٰلِكِ dituliskan dalam semua mushaf  dengan membuang alif, sehingga dibaca MALIKI, sesuai dengan rasam secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula MAALIKI sesuai dengan rasam secara ihtimal[15].
2.      Diterima dan sampai kepada kita secara mutawattir. Ini menurut para ahli usul, muhadditsin, dan mazahib al-arba’ah. Menurut imam lainnya, qira’at yang tidak mutawattir tetapi sahih boleh diikuti.
3.      Sesuai dengan Bahasa arab .artinya, jangan bacaan itu bertentangan dengan kaidah bahasan arab.  Sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih maupun lebih fasih, sebab qira’at adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu[16].
Apabila suatu qira’at telah memenuhi syarat-syarat ini maka qira’at itu dianggap benar atau shahih dan boleh diikuti, bahkan tidak boleh diingkari.Akan tetapi, jika ada diantara syarat ini yang kurang maka qira’atnya dianggap tidak sahih dan tidak boleh diingkari.
            Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam,
a)      MUTAWATTIR, yaitu qiraat yang diambil oleh sejumlah periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qira’at.
b)      MASYHUR, yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawattir, sesuai dengan kaidah Bahasa arab dan rasam Utsmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qira’at sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah satunya syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat macam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai untuk digunakan.
c)      AHAD, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Utsmani, menyalahi kaidah Bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaanya. Seperti contoh  لَقَدۡ جَآءَڪُمۡ رَسُولٌ۬ مِّنۡ أَنفُسِڪُمۡ diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia membaca fathah huruf FA[17].
d)     Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, seperti qiraat  مَـٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ (٤)dengan bentuk fi’il madhi dan menasabkan YAUMA.
e)      Maudlu, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
f)       Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran.

F. TOKOH QIRA’AT

            Imam atau guru qira’at itu cukup banyak jumlahnya, namun yang popular hanya tujuh orang. Qira’at tujuh imam ini adalah qira’at yang disepakati.akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang sahih dan mutawattir. Mereka adalah Abu Ja’afar Yazin bin Qa’qa al-Madani, Ya’qub bin ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hasyim. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qira’at.Dan imam qira’at diluar yang sepuluh ini dipandang qira’at syaz, seperti qiraat Yazidi, hasan, A’masy, ibn Jubair dan lain-lain.Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qira’at sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
            Pemilihan qurra’ (ahli qira’at) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hiriyyah.Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggung jawabkan ilmunya cukup banyak jumlahnya.Adapun beberapa para sahabat yang terkenal sebagai ahli qira’at adalah Utsman, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Abu Musa. Menurut Azd-dzahabi, seperti yang dikutip oleh Al-Qoththan, sebagian besar sahabat mempelajari qira’at dari Ubay. Diantaranya adalah Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Sa’ib. dari para tokoh qiraat sahabat inilah para tabi’in mempelajari Qiraat Al-Qur’an, yang selanjutnya qiraat-qiraat tersebut disandarkan kepada mereka.
            Ada tujuh tokoh yang terkenal yang notabenednya berasal dari kalangan tabi’in, berikut adalah ringkasannya;
a.       Ibnu katsir[18]. Nama lengkapnya adalah Imam Haramillah Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir bin Al-Muthallib. Ia lahir pada tahun 45 H dan wafat dimekah pada tahun 120 H. ibnu katsir belajar qira’at dari salah seorang sahabat nabi, Abdullah bin Sa’ib. diantara tokoh yang terkenal mengembangkan qira’atnya adalah Al-Bazi dan Qunbul.
b.      Nafi Al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwayn Nafi bin Abdurrahman bin Abi Nu’aim Al-Laysi. Ia juga digelari dengan imam Harami Rasuluulah. Nafi meninggal pada tahun 169 H. ia belajar Qira’at dari Abi Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa Al-Madani, ibnu hurmusAl-A’raj, dan muslim bin jundub, semua guru Nafi ini mempelajari qira’at dari sahabat seperti ibnu abas, Abu Hurairah, Ubay, dan Az-Zubar bin Al-Awwam. Diantara tokoh yang meriwayatkan qira’at Nafi’ ini adalah Qalun (120-220) dan warasy (197 H).
c.       Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Asy-Syami. Ia meninggal tahun 118 H. ibnu Amir belajar qira’at dari Al-Mughirah dan Abu Darda. Diantar tokoh yang meriwayatkan qira’at Ibnu Amir adalah Hisyam (245 H) dan Ibnu Zakwan (242 H)
d.      Abu Amr Al-Basri. Nama lengkapnya adalah Abu Amr Zaban bin Al-Ala At-Tamimi Al-Basri. Ia lahir di kota mekah pada tahun 70 H dan meninggal di kuffah tahun 154 H. diantar gurunya adalah Abu Al-hajjah Mujahhid, Abu Abdullah Sa’id bin Jubair, dan Abu J’afar Yazid bin  Al-Qa’qa. Di antara tokoh  yang meriwayatkan qira’atnya adalah Ad-Dauri (246 H) dan As-Sausi (261 H)
e.       Asim Al-kufi. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Asim bin Abu Nujud Al-Asadi Al-Kufi. Ia meninggal pada tahun 127 H. asim belajar qira’at dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib As-Salmi, Abi Maryam, Zirr bin Hubasy Al-Asadi, dan lainnya. Diantara tokoh yang meriwayatkan qira’atnya adalah sya’bah (95-193 H) dan Hafs (180 H)
f.       Hamzah Al-quffi. Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin Imarah At-Zayyat. Ia lahir pada tahun 80 H dan meninggal tahun 156 H. Hamzah belajar qira’at dari abi Muhammad sulaiman bin mahram al-amasy dan Humrah bin Ayu. Diantara tokoh yang meriwayatkan qira’at Hamzah ini adalah khalaf (229 H) dan khalad (220 H).
g.      Al-Kusai Al-kufi. Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah Al-Kusai, ia meninggal 189 H. al-Kusai belajar qira’at dari Abi Imarah dan ismail bin Ja’far. Diantara tokoh yang meriwayatkan qira’atnya adalah Abu- Al-haris (240 H) dan Hafis Ad-Dauri (246 H).



[1] Muhammad Muhasyin bin Muhammad bin salim, Al-Irsyadat Al-Jaliyyah fi Aq-Qira’at Al-Sab’min Thariq Asy-Syatibiyyah, t.tp, Maktabah Al-Kuliyyah Al-Azariyah, tt., hlm .5.
[2]Hadist mutawattir, para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan maknanya, a) tidak dapat diketahui maknanya, karena kata ahruf berarti huruh hijaiyyah, kalimat, makna. b) kata ahruf berarti satu kalimat mempunyai beberapa makna. c) kata sab’ah ahruf berarti 7 cara membaca, d) menggambarkan kemudahan membaca al-quran. e) tujuh lahjah. f) tujuh qiraat.
[3] Halangan disini berate bersifat biologis, entah dari lahir atau karna suatu penyakit, contohnya cadel
[4]Ash-shibagh. Lamhat …., hlm, 164
[5] Sara menurut kalimat diatas adalah metode atau cara
[6] Masyhur artinya terkenal …, KBBI
[7]Ibnu katsir, Imamuddin Abi Al-fida ismail. Tafsir Al-Qur’an Al-azdim, jilid 1, bandung; syirkah nurasima,tt., hlm. 460.
[8]Ibid., jilid 2, hlm. 55 ibnu katsir bahwa qiraat ini termasuk syazd.
[9] Bacaan ini diriwayatkan dari al-mafadhal dari Asim
[10] Lihat ibid.. 283
[11]Ibid…, hlm. 437
[12]I’rob disini bermakna harokat.
[13] Dan i‘jam ialah pembedaan huruf yang sama dengan cara menambahkan titik untuk menghindari kekeliruan bacaan.
[14] Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan Allah yang berupa ketentuan-ketentuan tentang tingkah laku manusia yang berlaku dan bersifat mengikat bagi seluruh umat islam.
[15] Ihtimal (kemungkinan)
[16] Ra’yu (penalaran)
[17] Hadist hakim
[18] Dalam dunia islam terkenal dua orang tokoh yang bernama ibnu Katsir, satu diantaranya adalah seorang ahli Qira’at yang disebut diatas, dan ibnu katsir yang lainnya adalah seorang mufassir yg terkenal dengan karyanya Tafsir Al-Quran Al-Azhim atau Tafsir Ibnu Katsir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LINGKUNGAN DAN ATMOSFER PENDIDIKAN ISLAM

Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya

Makalah sejarah dan Turunnya Al-Qur'an